Sabtu, 27 Juni 2015

Penyakit Zoonosis Dan Peran Pengawasan Balai Karantina Pertanian Kelas I Mataram

Berkoordinasi merupakan investasi jangka panjang untuk setiap upaya penanganan suatu hal yang menjadi kepentingan bersama untuk tujuan yang satu, namun dalam aplikasinya berkoordinasi tidak sedikit kendala dan tantangan yang sering ditemui. Perbedaan Tugas Pokok dan Fungsi, ruang lingkup dan kewenangan, misi dan visi serta peraturan perundangan yang mendasari dapat menjadi permasalahan inti kurang optimalnya dalam pencapaian sebuah tujuan berkoordinasi. Jika dicermati maknanya, bahwa hasil berkoordinasi akan berpengaruh luas untuk setiap kepentingan organisasi dan masyarakat, misalkan saja, ada beberapa jenis penyakit strategis/Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) yang dilarang pemasukannya atau yang dilarang untuk dilalulintaskan atau yang bersifat zoonosis yang akan berdampak buruk/menghambat program pemerintah, aspek sosial masyarakat lainnya, jika tidak tidak ada kesungguhan yang sama, maka tujuan yang ingin dicapai bersama hanya berlalu begitu saja.
Bersyukur menjadi warga Nusa Tenggara Barat (NTB) saat ini, karena dari peta status/situasi penyakit zoonosis yang ada, NTB masih bebas dari beberapa penyakit zoonosis yang merugikan secara multisektoral seperti Rabies. Bisa jadi ini juga merupakan campur tangan Tuhan untuk memelihara NTB   dari ancaman Rabies. Dapat dibayangkan, dengan keterbatasan piranti yang ada, Sumber Daya Manusia (SDM) Karantina dan Dinas Peternakan dan Pertanian sepulau Lombok masih mampu mempertahankan NTB tetap bebas Rabies. Kalau dilihat dari peta secara geografis, Pulau Lombok adalah pula yang sangat rentan dan berada dalam posisi yang terancam, bagaimana tidak??, Pulau Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sudah sejak tahun 1997 terjangkit rabies dan hingga 2014 sudah lebih dari 200 jiwa meninggal dunia. Pulau Bali tertular rabies pada tahun 2008 hingga 2011 sudah 108 jiwa meninggal dunia. Kalau dilihat dari kultur budaya antara masyarakat NTT dengan manyarakat Bali memang ada kemiripan yaitu sebagian besar masyarakatnya adalah pecinta binantang anjing (HPR), akan tetapi jika dilihat dari luas dan panjangnya pesisir pantai/laut antara Pulau NTT, NTB, dan Bali hampir seluruh pesisir pantai ketiga pulau tersebut memiliki peluang yang sama dan dapat menjadi tempat yang sama sebagai sumber pintu pemasukan anjing (secara illegal), akan tetapi setelah NTT tertular malah pulau Bali dahulu yang tertular dari Pulau Lombok.
Jika dilihat dari peluang-peluang tersebut NTB bukan tidakmungkin akan terjangkit oleh penyakit Rabies dalam waktu cepat/lambat. Kendati demikian, sudah saatnya kita jangan terlena. Dalam Era Globalisasi seperti sekarang ini alat transportasi, telekomunikasi sudah semakin mudah dan canggih, jalur-jalur tetentupun bisa dijadikan tempat pemasukan Media Pembawa (MP). Oleh karenanya suatu organisasi tidak akan mungkin berjalan sendiri untuk mengawasi, apalagi untuk fokus mengawasi/mencegah masuk dan tersebarnya Rabies.
Kasus gigitan anjing pada manusia yang telah terjadi bisa jadi sebuah peringatan, meski kasus gigitan bukan merupakan suatu tendensi infeksi atau terindikasi rabies (karena harus dibuktikan dengan peneguhan diagnose di laboratorium). Tetapi jika kasus gigitan satu saja terjadi positif, dapat dipastikan bahwa anjing tersebut telah menebar virusnya keanjing yang lain sebelumnya. Jika itu terjadi, pemerintah Lombok harus memulai kesibukannya untuk melakukan langakh-langkah pemberantasan dan pemulihan status wilayah teritorial dan memulihkan kepercayaan pihak lain. Sebaran sumber anjing tergigit akan sulit ditelusur, kecepatan proses gigitan dari satu anjing keanjing yang lain akan lebih cepat dari pada proses pemutusan matarantai/siklus gigitan, tentu hal itu akan menambah keserahan masyarakat NTB.
Belajar dari kasus Rabies di bali dan NTT, sudah berapa banyak nyawa hilang, sudah berapa banyak  biaya yang dikeluarkan untuk pemberantas, pengendalian penyakit rabies?, berapa banyak energi yang dikeluarkan, berapa sektor produksi dan jasa yang terganggu pendapatannya termasuk sektor pariwisata NTB, berapa jumlah program pemerintah yang tertuda atau bahkan digagalkan karena anggarannya digunakan untuk biaya pemberantasan dan pengendalian penyakit Rabies. Yang semua itu akan berdampak luas yang pada akhirnya ketenangan bathin dan  kesejahteraan masyarakat akan pasti terganggu, sehingga  penyakit rabies ini bisa dikatakan sebagai penyakit zoonosis yang berdampak “multisektoral
Mulai saat ini gerakan pencegahan harus diaktivkan oleh kita semua, Karantina Pertanian Mataram dengan pengawasannya dipintu pemasukan dan pintu pengeluaran di Pulau Lombok sebagai ujung tombak telah berusaha semaksimal mungkin melaksanakan TOPOKSI  dan ikut mengamankan wilayah NTB dari ancaman masuknya Penyakit Rabies. Upaya Karantina Pertanian Mataram menyadarkan masyarakat, memperluas Informasi melalui sosialisasi terhadap seluruh stakeholder (pemerintah NTB, pengguna jasa, maupun masyarakat umum), pembentukan Tim Terpadu dan berkoordinasi lintas sektoral terus dilakukan untuk menggugah rasa dan keinginan yang sama untuk satu tujuan yaitu NTB Tetap Bebas Rabies.   Mari kita wujudkan bersama-sama, bekerja sama dan sama-sama bekerja, dan mengajak seluruh stakeholder untuk berkomitmen secara serius  melakukan pengawasan dan pengamanan wilayah pulau Lombok sebelum penyakit Rabies menimpa
Sumber: Drh. Amirullah Medik Veteriner Balai Karantina Kelas I Mataram



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PETANI MUDA ASET EKONOMI PERTANIAN INDONESIA MASA DEPAN

          PETANI MUDA ASET EKONOMI PERTANIAN INDONESIA MASA DEPAN           Bersyukur Kepada Allah SWT, telah diberi kesempatan hidup sebaga...