Berkoordinasi merupakan investasi
jangka panjang untuk setiap upaya penanganan suatu hal yang menjadi kepentingan
bersama untuk tujuan yang satu, namun dalam aplikasinya berkoordinasi tidak
sedikit kendala dan tantangan yang sering ditemui. Perbedaan Tugas Pokok dan
Fungsi, ruang lingkup dan kewenangan, misi dan visi serta peraturan perundangan
yang mendasari dapat menjadi permasalahan inti kurang optimalnya dalam
pencapaian sebuah tujuan berkoordinasi. Jika dicermati maknanya, bahwa hasil
berkoordinasi akan berpengaruh luas untuk setiap kepentingan organisasi dan
masyarakat, misalkan saja, ada beberapa jenis penyakit strategis/Hama Penyakit
Hewan Karantina (HPHK) yang dilarang pemasukannya atau yang dilarang untuk
dilalulintaskan atau yang bersifat zoonosis yang akan berdampak
buruk/menghambat program pemerintah, aspek sosial masyarakat lainnya, jika
tidak tidak ada kesungguhan yang sama, maka tujuan yang ingin dicapai bersama
hanya berlalu begitu saja.
Bersyukur menjadi warga Nusa
Tenggara Barat (NTB) saat ini, karena dari peta status/situasi penyakit
zoonosis yang ada, NTB masih bebas dari beberapa penyakit zoonosis yang
merugikan secara multisektoral seperti Rabies. Bisa jadi ini juga merupakan
campur tangan Tuhan untuk memelihara NTB dari ancaman Rabies. Dapat
dibayangkan, dengan keterbatasan piranti yang ada, Sumber Daya Manusia (SDM)
Karantina dan Dinas Peternakan dan Pertanian sepulau Lombok masih mampu
mempertahankan NTB tetap bebas Rabies. Kalau dilihat dari peta secara
geografis, Pulau Lombok adalah pula yang sangat rentan dan berada dalam posisi
yang terancam, bagaimana tidak??, Pulau Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sudah
sejak tahun 1997 terjangkit rabies dan hingga 2014 sudah lebih dari 200 jiwa
meninggal dunia. Pulau Bali tertular rabies pada tahun 2008 hingga 2011 sudah
108 jiwa meninggal dunia. Kalau dilihat dari kultur budaya antara masyarakat
NTT dengan manyarakat Bali memang ada kemiripan yaitu sebagian besar
masyarakatnya adalah pecinta binantang anjing (HPR), akan tetapi jika dilihat
dari luas dan panjangnya pesisir pantai/laut antara Pulau NTT, NTB, dan Bali
hampir seluruh pesisir pantai ketiga pulau tersebut memiliki peluang yang sama
dan dapat menjadi tempat yang sama sebagai sumber pintu pemasukan anjing
(secara illegal), akan tetapi setelah NTT tertular malah pulau Bali dahulu yang
tertular dari Pulau Lombok.
Jika dilihat dari peluang-peluang
tersebut NTB bukan tidakmungkin akan terjangkit oleh penyakit Rabies dalam
waktu cepat/lambat. Kendati demikian, sudah saatnya kita jangan terlena. Dalam
Era Globalisasi seperti sekarang ini alat transportasi, telekomunikasi sudah
semakin mudah dan canggih, jalur-jalur tetentupun bisa dijadikan tempat
pemasukan Media Pembawa (MP). Oleh karenanya suatu organisasi tidak akan
mungkin berjalan sendiri untuk mengawasi, apalagi untuk fokus
mengawasi/mencegah masuk dan tersebarnya Rabies.
Kasus gigitan anjing pada manusia
yang telah terjadi bisa jadi sebuah peringatan, meski kasus gigitan bukan
merupakan suatu tendensi infeksi atau terindikasi rabies (karena harus
dibuktikan dengan peneguhan diagnose di laboratorium). Tetapi jika kasus
gigitan satu saja terjadi positif, dapat dipastikan bahwa anjing tersebut telah
menebar virusnya keanjing yang lain sebelumnya. Jika itu terjadi, pemerintah
Lombok harus memulai kesibukannya untuk melakukan langakh-langkah pemberantasan
dan pemulihan status wilayah teritorial dan memulihkan kepercayaan pihak lain.
Sebaran sumber anjing tergigit akan sulit ditelusur, kecepatan proses gigitan
dari satu anjing keanjing yang lain akan lebih cepat dari pada proses pemutusan
matarantai/siklus gigitan, tentu hal itu akan menambah keserahan masyarakat
NTB.
Belajar dari kasus Rabies di bali
dan NTT, sudah berapa banyak nyawa hilang, sudah berapa banyak biaya yang
dikeluarkan untuk pemberantas, pengendalian penyakit rabies?, berapa banyak
energi yang dikeluarkan, berapa sektor produksi dan jasa yang terganggu
pendapatannya termasuk sektor pariwisata NTB, berapa jumlah program pemerintah
yang tertuda atau bahkan digagalkan karena anggarannya digunakan untuk biaya
pemberantasan dan pengendalian penyakit Rabies. Yang semua itu akan berdampak
luas yang pada akhirnya ketenangan bathin dan kesejahteraan masyarakat
akan pasti terganggu, sehingga penyakit rabies ini bisa dikatakan sebagai
penyakit zoonosis yang berdampak “multisektoral”
Mulai saat ini gerakan pencegahan
harus diaktivkan oleh kita semua, Karantina Pertanian Mataram dengan
pengawasannya dipintu pemasukan dan pintu pengeluaran di Pulau Lombok sebagai
ujung tombak telah berusaha semaksimal mungkin melaksanakan TOPOKSI dan
ikut mengamankan wilayah NTB dari ancaman masuknya Penyakit Rabies. Upaya
Karantina Pertanian Mataram menyadarkan masyarakat, memperluas Informasi
melalui sosialisasi terhadap seluruh stakeholder (pemerintah NTB, pengguna
jasa, maupun masyarakat umum), pembentukan Tim Terpadu dan berkoordinasi lintas
sektoral terus dilakukan untuk menggugah rasa dan keinginan yang sama untuk
satu tujuan yaitu NTB Tetap Bebas Rabies. Mari kita wujudkan
bersama-sama, bekerja sama dan sama-sama bekerja, dan mengajak seluruh
stakeholder untuk berkomitmen secara serius melakukan pengawasan dan
pengamanan wilayah pulau Lombok sebelum penyakit Rabies menimpa
Sumber: Drh. Amirullah Medik
Veteriner Balai Karantina Kelas I Mataram
Tidak ada komentar:
Posting Komentar