Sabtu, 27 Juni 2015

PRAKTEK KERJA LAPANGAN (PKL) MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNAIR DAN D3 KESEHATAN HEWAN UNIVERSITAS MATARAM (UNRAM)

Penulis: Drh. Amirullah
Medik Veteriner Balai Karantina (BKP) Kelas I Mataram
Email: ame_vet08@yahoo.com  Blog: amirdrh.blogspot.com


            Balai Karantina Pertanian (BKP) Kelas 1 Mataram merupakan salah satu instansi yang dipilih sebagai tempat Praktek Kerja Lapang (PKL) oleh pihak akademisi diantaranya adalah UNRAM, UNTB, dan UNAIR. Kegiatan PKL mahasiswa Peternakan Jurusan D3 Agribisnis Konsentrasi Kesehatan Hewan (KESWAN) UNRAM diawali dengan kegiatan pembekalan tentang perkarantinaan diruang pertemuan Fakultas Peternakan UNRAM yang didampingi oleh kepala BKP Kelas I Mataram bersama Kasie Wasdak,dan Koordinator Fungsioanal Karantina Hewan (KH) pada tanggal 04 Maret 2014. Kegiatan  dilaksanakan di BKP Kelas 1 Mataram dengan lokasi kegiatan di wilker kayangan dan wilker lembar, mahasiswa PKL berjumlah 50 orang tiap kelompok berjumlah 8-9 orang, dan tiap kelompok menempuh waktu selama 2 minggu. Dua wilker tersebut dijadikan lokasi PKL karena merupakan tempat pemasukan dan pengeluaran utama Media Pembawa (MP) dengan frekwensi lalulintas dan volume media pembawa yang cukup tinggi.



Dalam kegiatannya mahasiswa diberikan kesempatan untuk mempelajari petunjuk penggunaan dan pengisian dokumen operasional tindakan perkarantinaan terhadap MP, mempelajari tindakan pengawasan dan tindakan 8P dibidang karantina hewan, dan mempelajari tindakan 8P terhadap MP didalam Instalasi Karantina Hewan (IKH). Mengikuti dan mempelajari segenap kegiatan perkarantinaan yang ada setiap harinya, meliputi kegiatan pengawasan lalulintas  MP HPHK yang keluar/masuk, dengan segala tindakannya, pemeriksaan kelengkapan dokumen, fisik pada setiap lalulintas MP dan alat angkutnya, tindakan 8 P dan perlakuan terhadap MP didalam IKH, jenis HPHK yang diawasi karantina, pengambilan sample ulas darah dan lain-lain, dengan mengikuti jadwal kegiatan pegawai yang piket, baik piket pagi maupun piket malam, sehingga situasi kegiatan perkarantinaan yang tidak pernah putus (24 jam) benar-benar dirasakan oleh peserta PKL, dan didampingi oleh petugas piket pada saat jadwalnya dan segala sesuatu hal yang dihadapi peserta PKL bisa dijelaskan oleh petugas piket pendamping, demikian juga kegiatan yang ada di IKH dalam hal penerapan tindakan 8 P.


Manfaat yang bisa dirasakan dari kegiatan PKL itu adalah selain untuk kepentingan akademisnya, pengembangan pengetahuan tentang kegiatan operasional perkarantinaan, para PKL juga dapat membantu BKP Kelas 1 Mataram untuk menyebarluaskan informasi tentang perkarantinaan dengan segenap lingkup kerjanya. Dan diharapkan dengan adanya PKL itu, mahasiwa dapat menyebarluaskan informasi tentang tugas pokok dan fungsi serta segala  prosedur operasional perkarantinaan yang belaku kepada masyarakat umum lainya, agar karantina dapat dikenal lebih dekat dan  menjadi sahabat seluruh lapisan masyarakat, dan nilai kepatuhan masyarakat yang berkepentingan dengan karantina  menjadi meningkat  dan angka pelanggaran dapat berkurang/menurun. Bahkan akan lebih bagus jika pengetahuanyang sudah diperoleh selama PKL di Karantina Mataram secara interpersonal dapat memahami, mematuhi  dan disebarluaskan ke seluruh teman, keluarga, kampus, dan masyarakat umum lainnya. Sehingga dapat kita bersama-sama dengan mahasiwa PKL membangun semangat mencegah masuk, tersebar dan keluarnya HPHK yang di bawa oleh setiap Media Pembawanya yang berpotensi membahayakan masyarakat NTB sendiri terutama  semangat mempertahankan dan mencegah masuknya penyakit Rabies dan Flu Burung. Diharapkan dengan adanya peserta PKL UNRAM di BKP Mataram, informasi tentang karantina dapat disebarluaskan seluas mungkin sehingga jika berkepentingan dengan karantina, tidak harus dijauhi/dihindari akan tetapi harus menjadi sebagai kebutuhan dalam melalulintaskan setiap MP untuk mendapatkan jaminan status, legalitas, kesehatan, dan kelayakan segala MP yang dilalulintaskan. 







Penyakit Zoonosis Dan Peran Pengawasan Balai Karantina Pertanian Kelas I Mataram

Berkoordinasi merupakan investasi jangka panjang untuk setiap upaya penanganan suatu hal yang menjadi kepentingan bersama untuk tujuan yang satu, namun dalam aplikasinya berkoordinasi tidak sedikit kendala dan tantangan yang sering ditemui. Perbedaan Tugas Pokok dan Fungsi, ruang lingkup dan kewenangan, misi dan visi serta peraturan perundangan yang mendasari dapat menjadi permasalahan inti kurang optimalnya dalam pencapaian sebuah tujuan berkoordinasi. Jika dicermati maknanya, bahwa hasil berkoordinasi akan berpengaruh luas untuk setiap kepentingan organisasi dan masyarakat, misalkan saja, ada beberapa jenis penyakit strategis/Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) yang dilarang pemasukannya atau yang dilarang untuk dilalulintaskan atau yang bersifat zoonosis yang akan berdampak buruk/menghambat program pemerintah, aspek sosial masyarakat lainnya, jika tidak tidak ada kesungguhan yang sama, maka tujuan yang ingin dicapai bersama hanya berlalu begitu saja.
Bersyukur menjadi warga Nusa Tenggara Barat (NTB) saat ini, karena dari peta status/situasi penyakit zoonosis yang ada, NTB masih bebas dari beberapa penyakit zoonosis yang merugikan secara multisektoral seperti Rabies. Bisa jadi ini juga merupakan campur tangan Tuhan untuk memelihara NTB   dari ancaman Rabies. Dapat dibayangkan, dengan keterbatasan piranti yang ada, Sumber Daya Manusia (SDM) Karantina dan Dinas Peternakan dan Pertanian sepulau Lombok masih mampu mempertahankan NTB tetap bebas Rabies. Kalau dilihat dari peta secara geografis, Pulau Lombok adalah pula yang sangat rentan dan berada dalam posisi yang terancam, bagaimana tidak??, Pulau Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sudah sejak tahun 1997 terjangkit rabies dan hingga 2014 sudah lebih dari 200 jiwa meninggal dunia. Pulau Bali tertular rabies pada tahun 2008 hingga 2011 sudah 108 jiwa meninggal dunia. Kalau dilihat dari kultur budaya antara masyarakat NTT dengan manyarakat Bali memang ada kemiripan yaitu sebagian besar masyarakatnya adalah pecinta binantang anjing (HPR), akan tetapi jika dilihat dari luas dan panjangnya pesisir pantai/laut antara Pulau NTT, NTB, dan Bali hampir seluruh pesisir pantai ketiga pulau tersebut memiliki peluang yang sama dan dapat menjadi tempat yang sama sebagai sumber pintu pemasukan anjing (secara illegal), akan tetapi setelah NTT tertular malah pulau Bali dahulu yang tertular dari Pulau Lombok.
Jika dilihat dari peluang-peluang tersebut NTB bukan tidakmungkin akan terjangkit oleh penyakit Rabies dalam waktu cepat/lambat. Kendati demikian, sudah saatnya kita jangan terlena. Dalam Era Globalisasi seperti sekarang ini alat transportasi, telekomunikasi sudah semakin mudah dan canggih, jalur-jalur tetentupun bisa dijadikan tempat pemasukan Media Pembawa (MP). Oleh karenanya suatu organisasi tidak akan mungkin berjalan sendiri untuk mengawasi, apalagi untuk fokus mengawasi/mencegah masuk dan tersebarnya Rabies.
Kasus gigitan anjing pada manusia yang telah terjadi bisa jadi sebuah peringatan, meski kasus gigitan bukan merupakan suatu tendensi infeksi atau terindikasi rabies (karena harus dibuktikan dengan peneguhan diagnose di laboratorium). Tetapi jika kasus gigitan satu saja terjadi positif, dapat dipastikan bahwa anjing tersebut telah menebar virusnya keanjing yang lain sebelumnya. Jika itu terjadi, pemerintah Lombok harus memulai kesibukannya untuk melakukan langakh-langkah pemberantasan dan pemulihan status wilayah teritorial dan memulihkan kepercayaan pihak lain. Sebaran sumber anjing tergigit akan sulit ditelusur, kecepatan proses gigitan dari satu anjing keanjing yang lain akan lebih cepat dari pada proses pemutusan matarantai/siklus gigitan, tentu hal itu akan menambah keserahan masyarakat NTB.
Belajar dari kasus Rabies di bali dan NTT, sudah berapa banyak nyawa hilang, sudah berapa banyak  biaya yang dikeluarkan untuk pemberantas, pengendalian penyakit rabies?, berapa banyak energi yang dikeluarkan, berapa sektor produksi dan jasa yang terganggu pendapatannya termasuk sektor pariwisata NTB, berapa jumlah program pemerintah yang tertuda atau bahkan digagalkan karena anggarannya digunakan untuk biaya pemberantasan dan pengendalian penyakit Rabies. Yang semua itu akan berdampak luas yang pada akhirnya ketenangan bathin dan  kesejahteraan masyarakat akan pasti terganggu, sehingga  penyakit rabies ini bisa dikatakan sebagai penyakit zoonosis yang berdampak “multisektoral
Mulai saat ini gerakan pencegahan harus diaktivkan oleh kita semua, Karantina Pertanian Mataram dengan pengawasannya dipintu pemasukan dan pintu pengeluaran di Pulau Lombok sebagai ujung tombak telah berusaha semaksimal mungkin melaksanakan TOPOKSI  dan ikut mengamankan wilayah NTB dari ancaman masuknya Penyakit Rabies. Upaya Karantina Pertanian Mataram menyadarkan masyarakat, memperluas Informasi melalui sosialisasi terhadap seluruh stakeholder (pemerintah NTB, pengguna jasa, maupun masyarakat umum), pembentukan Tim Terpadu dan berkoordinasi lintas sektoral terus dilakukan untuk menggugah rasa dan keinginan yang sama untuk satu tujuan yaitu NTB Tetap Bebas Rabies.   Mari kita wujudkan bersama-sama, bekerja sama dan sama-sama bekerja, dan mengajak seluruh stakeholder untuk berkomitmen secara serius  melakukan pengawasan dan pengamanan wilayah pulau Lombok sebelum penyakit Rabies menimpa
Sumber: Drh. Amirullah Medik Veteriner Balai Karantina Kelas I Mataram



FAKTOR PENYEBAB PENULARAN PENYAKIT RABIES (Anjing Gila)


Drh. Amirullah
Medik Veteriner Karantina Pertanian
Balai Karantina Pertanian Kelas I Mataram


Penyakit rabies merupakan penyakit hewan yang sangat mematikan bagi hewan dan manusia jika sudah terjangkit, penyakit ini disebabkan oleh virus Rhabdoviridae yang bersifat akut pada sistem syaraf pusat yang ditularkan melalui luka gigitan dan air liur anjing yang mengandung virus rabies. Selain anjing sebagai reservoir utama, kucing, kera dan sebangsanyapun dapat berperan sebagai reservoirnya. Tingkat  kematian (mortalitas) akibat penyakit rabies mencapai 100%, jika sudah tergigit dan tidak tertangani dengan baik dapat berakhir dengan kematian.

          Dampak penyakit rabies sangat luas dimensinya, bisa dikatakan sebagai salah satu penyakit hewan menular yang berdampak multisektoral, karena  banyak sektor yang terpegaruh oleh paparan penyakit ini, bukan saja jiwa/nyawa manusia sebagai taruhannya melainkan materi, ruang dan waktu juga menjadi sasaranya. Suatu daerah tertentu kebanyakan belum mampu membebaskan status wilayahnya dari paparan rabies disatu sisi suatu daerah lain sedang disibukkan oleh kasus kematian akibat gigitan anjing yang menularkan virus rabiesnya pada manusia. Seperti misalnya setelah pulau Flores NTT sejak tahun 1997 dan Bali yang sejak tahun 2008 sampai sekarang belum mampu membebaskan statusnya dari Kejadian Luar Biasa Penyakit Rabies, ternyata muncul lagi dipulau lain seperti Kalimantan Barat (Pontianak)  dan terakhir di Kotawaringin Kalimantan Tengah. Sungguh matarantai dan siklus penyakit yang tidak bisa dipandang sebelah mata dan akan selalu eksis tanpa batas.
Ada beberapa hal biasanya menjadi faktor pendukung atau pemicu yang memungkinkan terjangkitnya penyakit disuatu daerah/tempat seiring dengan perkembangan yang ada, seperti relevansi undang-undang dan peraturam/regulasi-regulasi lainnya yang diberlakukan, kondisi geografis kepulauan Indonesia dengan cakupan lautan yang cukup luas dan panjang, dengan dukungan perkembangan teknologi, transportasi dan informasi dapat menjadi pemicu dalam penyebaran penyait hewan menular rabies seiring dengan penyebaran dan perpindahan manusia. Masyarakat yang multi kultur, hobi masyarakat yang berbeda-beda, pupulasi anjing liar yang terus berkembang, Sumber Daya Manusia (SDM)  petugas yang terbatas, anggaran yang terbatas, kegiatan sosialisasi dan koordinasi yang belum tepat sasaran, kesadaran masyarakat yang kurang, dan lain-lainnya  adalah menjadi point terpenting dalam penyebaran penyakit rabies.

1. Regulasi/Peraturan Yang Sering Diabaikan
Regulasi merupakan cara yang dibuat untuk mengendalikan manusia/masyarakat dengan suatu aturan atau pembatasan tertentu. Berbagai pesyaratan teknis (undang-undang, keputusan, peraturan dan petunjuk teknis) yang telah mengatur tentang penyakit rabies dengan segala aspeknya baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk daerah tertular maupun daerah bebas telah diterapkan. Peraturan yang diterapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah seyogyanya harus dipahami dan sinergi agar tidak terjadi tumpang tindih yang berdampak pada gagal dan tidak tercapainya tujuan pelaksanaan kegiatan.
          Memang tidak mudah bagi stakeholder untuk menyatukan/meleburkan visi dan misi dengan masyarakat, akibatnya berdampak pada masyarakat itu sendiri, padahal peraturan dibuat sebagai bentuk kepedulian pemerintah dalam upaya keteraturan, ketertiban dalam segala bentuk kegiatan/aktivitas masyarakat. Banyaknya benturan-benturan atau kendala-kendala yang terjadi dilapangan menunjukkan adanya hal-hal kurang dianalisa secara mendasar dan meluas yang akan terjadi dilapangan sehingga suatu peraturan dianggap tidak relevan lagi dan diperlukan untuk dievaluasi kembali, mengingat latarbelakang masyarakat yang multikultur.
          Regulasi/peraturan yang dibuat bukan tanpa alasan untuk tidak dilanggar oleh oknum-oknum tertentu, ragamnya kepentingan dan kebutuhan masyarakat saat ini menyebabkan  peraturan tertentu  terkadang menjadi terabaikan. Alasan-alasan klasik seperti kepentingan pribadi, kesulitan pengurusan, waktunya mepet/terbatas, kurang memahami prosedur, belum mengetahui peraturannya. Akan tetapi terkadang pelanggaran tidak dilakukan hanya sekali melainkan berulang kali dan menjadi kebiasaan, bahkan pada level kesengajaan akan dilakukan dengan secara diam-diam, sembunyi-sembunyi dan lain-lain usahanya untuk meloloskan barang bawaannya. 

2. Masyarakat Yang Multikultur
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang multikultur, Penularan rabies selama ini tidak terlepas dari peran kultur masyarakat kita diberbagai daerah yang suka memelihara anjing/kucing/kera/sebangsanya. Kebiasaan tersebut sangat mudah mengantarkan suatu daerah menjadi daerah yang mudah digerogoti oleh penyakit anjing gila (rabies). Hal itu terjadi biasanya karena kebiasaan masyarakat yang kurang memperhatikan aspek-aspek kesehatan, keselamatan dan tidak mengindahkan regulasi/peraturan serta tatacara pemeliharaan dan penanganan yang telah disodorkan dari hasil pengkajian ilmiah dan pengalaman para ahli.
          Suatu daerah yang rata-rata masyarakatnya memiliki kebiasaan memelihara anjing dengan cara yang tidak tepat dapat memungkinkan penyakit rabies akan terjangkit, ketertiban secara ideal akan terlupakan/terabaikan jika sudah terbentuk komunitas, banyak hal-hal yang akan lepas dari kontrol peraturan, kadang cenderung menghindari dan membentuk suatu perlawanan, akibatnya pelanggaran/penyimpangan terhadap peraturan/prosedur penangangan, pemeliharaan, dan pencegahan  penyakit rabies yang  sekiranya dibuat  untuk mengatur ketertiban/keteraturan pasti terjadi, bahkan banyak peraturan dan petunjuk-petunjuk dan pedoman-pedoman yang menjadi kotraproduktif jika diterapkan di masyarakat. Padahal, peraturan yang dikeluarkan sudah melalui pengkajian dan analisi yang cukup panjang oleh berbagai ahli dibidangnya..
          Memang disatu sisi kultur masyarakat yang sudah terbentuk perlu dipelihara, dijunjung tinggi, dijaga juga kelestarian dan keasliannya sebagai ciri khas kebudayaan dan kebinekatunggalikaan kita dibumi Indonesia, bahkan kultur masyarakat sudah lahir terlebih dahulu sebelum peraturan itu dibuat. Namun diera globalisasi seperti sekarang kita ditantang oleh kemajuan teknologi informasi yang semakin modern, transportasi semakin maju. Kemajuan transportasi yang cukup meningkat, menyebabkan frekwensi dan volume lalulintas alat angkut media pembawa menjadi meningkat pula antara daerah/pulau, sehingga memberi peluang yang sangat besar terhadap masuk, tersebar dan keluarnya Media Pembawa (MP) Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK). Tidak hanya migrasi anjing antar daerah yang dikhawatirkan, migrasi antara kabupaten kota didalam satu propinsi bahkan antar desapun juga perlu di perhatikan dan diawasi.
         Dari itu antara teknis peraturan dengan ragam kultur masyarakat perlu diselaraskan/disinergikan untuk menghindari kerugian berbagai sisi kehidupan lain masyarakat setempat. Pluralitas masyarakat kita tidak hanya etnis, suku dan budaya melainkan keragaman paradigma dan pemikiran juga harus dikedepankan. Pandangan yang menyadari keberadaan diri kita terintegrasi dengan lingkungan sekitar, sehingga kebutuhan saling menghargai/menghormati juga perlu dilaksanakan, harusnya individu dapat memposisikan diri sebagai individu yang bersosial global, Prioritas adalah keselamatan, keyamanan dan kesehatan masyarakat seutuhnya, bukan egoisme kelompok/komunitas tertentu, mentaati peraturan dan mengindahkan prosedur pemeliharaan, penanganan dan perawatan anjing secara sehat dan higienis.
          Disetiap daerah yang sebagian besar masyarakatnya suka memelihara anjing, apalagi jika kurang memperhatikan pedoman pemeliharaan dan penanganan kesehatan anjing secara prosedural, cenderung menjadi daerah yang mudah dijangkiti oleh penyakit rabies, dan bahkan dampak dari Kultur masyarakat itu secara luas akan mempengaruhi masyarakat di daerah lain yang memiliki kultur yang sama, sehingga dapat menyebabkan terjadi perpindahan penyakit melalui Media Pembawa (MP) HPHK antara daerah karena adanya kegiatan jual beli, tukar menukar, kontes, perburuan dan lain-lain.

3. Hobi
       Hobi merupakan  aktivitas/kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi keinginan dan mendapat kesenangan atau merupakan suatu kegemaran tertentu dan tersendiri bagi suatu individu. Anjing sendiri merupakan teman yang terbaik dan paling setia bagi manusia. Bahkan yang sering dikatakan terhadap binatang yang sering menjadi bagian dari anggota keluarga yang istimewa kadang terdapat hubungan emosional yang kuat antara anjing dengan pemiliknya. Namun dibalik hobi ini terdapat resiko yang cukup besar untuk pemiliknya juga masyarakat lainnya jika anjingnya tidak dirawat sesuai dengan standar kesehatan  dan sanitasi yang baik, apalagi hobinya hanya sekedar memelihara (tidak memberi makan) dalam jumlah lebih dari satu, kemudian dibiarkan bermain secara liar dan bebas kontak dengan anjing liar lainnya, pada waktu makan dan malam hari pulang dan menjaga rumah /pekarangan.
          Hobi lain juga seperti mengkoleksi  anjing loka/ras bahkan didatangkan dari luar daerah. Migrasi anjing dari suatu pualu/daerah/desa sering kali terjadi dilakukan oleh oknum-oknum tertentu dengan cara diselundupkan/disembunyikan didalam alat angkut, apalagi  jika tidak mendapar rekomendasi dari pemerintah didaerah tujuan, karena dilarang pemasukannya. Berbagai modus dilakukan dari mengakali petugas pada waktu perlintasan, sampai menidurkan/membius anjingnya sepanjang perjalanan, atau mendekati pemeriksaan petugas. Padahal perlu diketahui  membius hewan hanya boleh dilakukan oleh oarang-orang yang ahli dibidangnya, jika itu terjadi berarti dengan demikian peran oknum ahli kesehatan hewan/lainnya yang melakukan itu dimungkinkan ada. Sebagai kenyataan bahwa dalam kurun waktu yang singkat terlihat dilingkungan banyak berbagai jenis anjing ras kerap diajak berjalan oleh pemiliknya.
             Hobi berburu tidak kalah berbahayanya, karena anjingnya secara langsung kontak, menggigit  hewan yang diburu. Jika anjing yang digunakan untuk berburu tidak diperhatikan sisi kesehatannya, akan membahayakan anjingnya, pemiliknya juga masyarakat lainnya. Perburuan tidak hanya dilakukan dihutan lokal, akan tetapi banyak juga yang melakukan perburuan diluar daerah dengan membawa sekelompok anjing dalam jumlah yang cukup banyak. Bayangkan saja  jika yang dilakukan perburuan pada daerah  yang endemik rabies, kemudian menggigit/bertengkar dengan anjing yang terinfeksi rabies (subklinis) yang kemudian anjingpemburunya dibawa kembali kedaerah  asalnya, dan didaerah asalnya kemudian anjing tersebut  muncul gejala klinisnya, kemudian menggigit anjing lain yang ada didaerah asalnya terutama anjing liar. Sehingga jika ada salah satu saja anjing yang telah tergigit oleh anjing  yang mengandung virus rabies tadi, dapat dipastikan  akan tertular dan akan sulit mengontrol  anjing-anjing  liar lainnya yang telah tergigit.
           Hobi ini bahkan tidak mungkin terisolasi  sehingga menyebabkan banyak terjadinya perdagangan/bisnis/tukar menukar anjing antar daerah/pulau untuk mendapatkan jenis-jenis yang baru yang lebih bagus dan menyenangkan. Seiring dengan  perpindahan  manusia, potensi perpindahan hewan dan penyakitnya juga bisa terjadi, baik yang dilalulintaskan melalui jasa angkutan darat, laut, maupun udara. Sehingga dengan demikian, parpindahan hewan anjing secara global dapat memicu timbulnya genom-genom/jenis penyakit zoonosis tertentu, yang kemudian akan terjadi penyebaran penyakit dengan potensi yang cukup besar pula.

4. Pengawasan Yang Kurang Maksimal
Pola penularan penyakit rabies diIndonesia sepertinya masih dominan disebabkan oleh pengingkatan  lalulintas manusia yang dikuti dengan lalulintas anjingnya ( Media Pembawa). Karantina Pertanian yang bertugas mengawasi lalulintas anjing sebagai salah satu Media  Pembawa (MP) Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) dalam upaya  mencegah masuk, tersebar dan keluarnya HPHK (rabies) sepertinya masih banyak memiliki keterbatasan dari sisi Sumber Daya Manusia (SDM) apalagi jika harus melakukan pengawasan  pada pintu  pemasukan/pengeluaran yang tidak resmi /yang belum ditetapkan  pemerintah (pelabuhan rakyat)   disepanjang pesisir pantai disetiap darah/pulau. SDM Karantina Pertanian  hanya  berfokus pada pintu pemasukan/pengeluaran yang resmi dan telah ditetapkan oleh pemerintah seperti pelabuhan laut, udara, dan kantor pos seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang No 16 Tahun 1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, dan Peraturan Pemerintah No 82 Tahunh 2000 Tentang Karantina Hewan. Sedangkan pada pelabuhan yang tidak resmi  petugas Karantina hanya melakukan pengwasan secara insidentil, berupa patroli dan monitoring dan itupun tidak semua pelabuhan rakyat dapat di lakukan patroli. Untuk itu sebagai upaya  efektifitas dalam pengawasan karantina, telah dilakukan pengawasan terpadu dengan pendampingan dari aparat keamanan (polisi), apalagi jika dilihat dari peraturan  otoritas kepelabuhanan yang diartikan bahwa tidak diperkenankan  adanya aktivitas pemeriksaan lain didalam area pelabuhan termasuk pemeriksaan oleh  karantina karena diperkirakan akan dapat menggangu kelancaran kegiatan lalulintas keluar masuk alat angkut.
           Keterbatasan kewenangan dalam menghentikan lalulintas alat angkut MP HPHK dalam upaya tindakan karantina menjadi kendala teknis dalam upaya pemeriksaan karantina, karena kepatuhan masyarakat  pengguna jasa karantina/pemilik anjing masih cukup rendah untuk melaporkan dan menyerahkan MP HPHK kepada petugas karantina untuk dilkakukan tindakan karantina. Oleh karena itu pengawasan pengawasam dalam upaya deteksi dini untuk mencegah masuk, tersebar, dan keluarnya  penyakit rabies sudah seharusnya disadari bersama secara seksama dan bersama  bahwa upaya itu adalah upaya kita bersama yang ingin agar daerah kita bebas dan tetap bebas dari penyakit rabies. Begitu juga pengawasan untuk anjing-anjing yang telah masuk  kedalam suatu daerah sangat sulit untuk dilakukan.   
         Pengendalian melalui pengawasan lalulintas media pembawa  antara daerah, pengawasan terhadap pelarangan  atau pembatasan lalulintas media pembawa tidak semudah dibayangkan, tidak bisa juga dilakukan sendiri oleh instansi terkait, sehingga koordinasi antara instasi terkait sangat perlu, dan memperhatikan tugas pokok dan fungsi masing-masing harusnya difahami sebaik mungkin, sehingga dalam pelaksanaanya tidak terjadi tumpang tindih, jangan sampai masyakat  menjadi korban karena lalainya pemangku kepentingan (stakeholder) dalam menerapkan peraturan.

5. Populasi Anjing Liar Yang Sulit Di Bendung
    Pengendalian anjing liar semakin kedepan semakin banyak menghadapi kendala. Peningkatan  populasi anjing tidak sebanding dengan usaha pemberantasan pengurangan populasinya. Dilema bagi pemerintah menjadi bagian dari upaya  tersebut. Dimensinya cukup luas, dilema/kendala operasional, prokontra serta  perlawanan dari sekelompok/komunitas pecinta anjing juga dari berbagai Lembaga Swadaya masyarakat (LSM), Maupun komunitas tertentu, juga pemilik anjing itu sendiri sering muncul dan mewarnai proses kegiatan eliminasi.
       Anjing sebagai reservoir  utama memilik peran  yang sangat besar dalam penyebaran virus rabies. Anjing liar semakin banyak berkembangbiak dikampung-kampung, bahkan di tempat pelayanan umum, pasar dan terkesan sanggat menggangu. Perlu dicarikan solusi yang konstruktif  yang tidak banyak merugikan elemen-elemen yang aad dalam upaya mengurangi populasinya. Usaha-usaha pengendalian perlu segera diterapkan secara konsisten dan teratur, baik eliminasi, kebiri/Ovarihisterektomi (OH), sosisalisasi perawatan maupun vaksinasi (jika diperlukan pada daerah yang bebas rabies). 
        Masyarakat kita sangat pluralis, memiliki karakter dan pola pikir yang berbeda-beda dan bahkan kesan dimasyarakat cenderung acuh tak acuh jika  melihat keberadaaan anjing apalagi menghitung populasinya, biasanya masyarakat tertentu akan peduli dan melaporkan apabila anjing secara langsung menggangu/menyerang individu tersebut. Meskipun satu sisi bahwa anjing adalah mahluk tuhan, pembatasannya juga sebaiknya perlu dilakukan secara manusiawi denga n memperhatikan prinsip kesejahteraan hewan  (Animal welfare), namun disatu sisi dengan pertimbangan kesehatan, kenyamanan dan keamanan, masyarakat perlu juga hidup bersosial yang tenang. Sehingga terhadap populasi anjing liar tersebut perlu diperhatian tersendiri dalam penanganannya.
        Satu pemahaman antara pemerintah pusat, dan daerah serta  semua elemen masyarakat harus segera terwujud, serta membuang ego-ego dan kepentingan pribadi yang tidak penting yang akan merugikan masyarakat lainnya. Karena perlu di ingat apabila satu ekor saja anjing liar tanpa perlindungan kekebalannya tergigit oleh anjing yang terinfeksi virus rabies, dapat dipastikan akan menularkannya kepada anjing liar tersebut. Semakin banyak  populasi anjing liar yang ada maka akan semakin sulit  terkontrol dan semakin cepat menyebarkan virus rabiesnnya. Penularan virus rabies antara anjing akan tidak bisa diikuti dengan usaha menghentikan mata rantainya, karena penularan virus rabies akan lebih cepat menyebar dibandingkan dengan usaha untuk menghentikannya, apalagi dengan birokrasi  dan pertanggungjawaban yang berbelit-belit 
         Dalam upaya pengendaliannya baik instansi pusat maupun daerah yang membidangi keswan dan peternakan, serta  masyarakat pecinta anjing atau tidak menutup kemungkinan bagi masyarakat bukan pecinta anjingpun untuk lebih pro aktif dalam mendata, melaporkan, merawat, memeriksakan kesehatan anjingnya secara berkala. Karena masalah penyakit rabies adalah masalah nasional yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain didalam wilayah republik indonesia, satu daerah terjangkit rabies bukan saja tanggung jawab daerah tersebjut, melainkan akan merepotkan pemerintah pusat, daerah lain, dan masyarakat luas lainnya. 
           Keberadaan anjing liar  yang semakin meningkat cukup menjadi momok yang sangat meresahkan sebagian masyarakat, rasa takut, kekhawatiran secara phiskis terhadap akan serangan gigitan anjing liar akan menyebabkan aktivitas sebagian masyarakat menjadi terganggu. Apalgi anjing liar tersebut sudah terinfeksi oleh virus rabies, maka seiring dengan munculnya gejala klinisnya akan menambah keganasan dan keaktivan perilaku anjing jika terapat usikan-usikan dari manusia sekitarnya.
          Eliminasi saat ini menjadai langkah prevebtif untuk mengurangi populasi anjing liar, meskipun dalam pelaksanaannya ada beberapa sekelompok masyarakat/ lembaga tertentu yang tidak merekomendasikannya. Akan tetapi marilah kita  melihat pada dimensi lain juga yang lebih prioritas  dan potensial pada anjing sebagai Media pembawa dan penyebar virus rabies. Keterbatasan dalam upaya pengendalian  lainnya seperti Operasi/kebiri/ovarihisterektomi (OH), ataupun KB anjing perlu diperhitungkan, karena untuk upaya itu bukan saja SDM yang menjadi kendala melainkan  keterbatasan materi, sarana prasarana yag harus dibeli dengan uang/dana yang sangat cukup besar yang tidak sebanding  dengan populasi anjing liar dan dampak yang ditimbulkannya. Selain itu kendala dalam menangkap/mengisolasi anjing liar liar bukan hal yang mudah untuk dilakukan, apalagi untuk keperluan vaksinasi, hal tersebut perlu di pikirkan matang-matang dan penuh kehati-hatian serta keterlibatan banyak pihak. .  
  
6. Sosialisasi Dan Koordinasi Yang Kurang Tepat Sasaran
Sosialisasi dilakukan untuk menyebarluaskan informasi tentang bahaya penyakit rabies, instansi terkait yang membidangi kesehatan hewan dan peternakan memiliki peran tersendiri dalam penanganannya, hakikat sosialisasi dapat dilakukan secara formal maupun informal tidak terpaku oleh ruang dan waktu yang terpenting adalah secara substansial maksud sosialisasi sasaran dan target nilai kepatuhannya tercapai. Pola pikir dan karakter masyarakat  yang berbeda-beda sering menjadi kendala dalam pencapaian  nilai kepatuhan masyarakat, kadang oknum masyarakat tertentu dapat dibilang faha-faham tidak faham, bahkan ada yang sengaja tidak memfahamkan dirinya padahal faham, hal itu dilakukan hanya karena mempertahankan pelanggaran yang telah dilakukannya, atau bisa juga ada yang sama sekali belum mendapat sosisalisasidan informasi tentang penyakit rabies.
          Sosialisasi terkait penyakit rabies dengan segala aspeknya sangat perlu dilakukan, karena sebagian besar masyarakat tidak terlalu mengenal penyakit anjing gila dan bagaimana dampaknya, yang mereka paham hanya memelihara anjing, dan tidak peduli dengan banyak sedikitnya anjing liar yang ada, bahkan tidak sadar jikalau anjing liar tersebut merupakan bagian dari kehidupan dan sekaligus penyakit bagi mereka. Sosisalisasi  sebaiknya tidak hanya menyasar pada elemen inti seperti aparat menengah keatas, sudah saatnya menyisir pemilik/pemelihara/pebisnis anjing sehingga informasi tentang penyakit rabies dan dampaknya dapat langsung diperdengarkan. Pemilik anjing harus dilibatkan secara langsung, konsepnyapun harus totalitas tentang penyakit rabies, bukan lagi sosialisasi rabies hanya sekedar mewarnai judul materi. Karantina Pertanian dan pemerintah daerah yaitu Dinas Peternakan, Pertanian, Perikanan, ataupun Dinas Kesehatan berhak melakukan sosialisasi dilapangan baik secara formal maupu informal. Kesempatan lain dapat pula dilakukan oleh masyarakat/lembaga-lembaga tertentu yang telah mendapatkan materi sosialisasi tentang penyakit rabies sebelumnyapun bisa memanfaatkan momentum sosialisasi, karena usaha memberantas, mempertahankan status bebas rabies adalah harus ada usaha dan peran serta masyarakat seluruhnya meskipun secara non formal, dengan informasi lisan maupun dengan membagikan brosur/leftlet, dan lain-lain.
          Tingkat kepatuhan masyarakat  dalam menerapkan suatu regulasi  akan tetap menjadi masalah terbesar bagi pemerintah. Karakter dan kultur masyarakat yang berpikir rasional intropeksi akan tetap kalah  jika dibanding dengan  Karakter dan kultur masyarakat yang rasional tetapi masih dibayang-bayangi oleh kepentingan pribadinya, apalagi ada istilah kepepet dan terpaksa. Sepanjang kesadaran-kesadaran yang tidak transparan atau yang acuh tak acuh tersebut masih kuat terbentuk dalam masyarakat, dapat dipastikan  aturan yang diharapkan berjalan akan sulit unruk diterapkan. Namun tidak bisa dilihat dari sisi karakter masyarakat saya, yang perpenting juga adalah apakah dimensi peraturan yang akan diterapkan telah relevan dan sudah memenuhi sebagian besar realistis kehidupan masyarakat. Apalagi masyarakat yang terbentuk sekarang cenderung mudah terpropokasi, demokrasi berani dan melawan sehingga harus disinergikan. 
          Meningkatkan kepatuhan dan kesadaran masyarakat (Publik awareness) melalui sosialisasi pada media televisi, radio, Koran dan lain-lain jarang sekali terjadi padahal sesekali itu dipandang perlu, jangan sampai setelah terjadi wabah baru disiarkan melalui berita atau berbagai media. Perlu diketahui, masyarakat masih sedikit minat bacanya apalagi baca Koran, dan lain-lain, masyarakat tidak banyak juga melihat berita ditelevisi, masyarakat tidak banyak yang mengenal internet, apalagi mengenal berita tentang rabies, sehingga sudah saatnya dilakukan gebrakan dan gerakan pencegahan penyakit rabies.  Sepertinya harus dilakukan  sosialisasi sampai kehilir dengan sistem menjemput bola memberikan pemahaman dari pintu ke pintu ke pada pemilik/penelihara anjing, membuat komitmen dengan RT, RW, Dusun, Desa, dan seterusnya sampai lingkungan pemerintah maupun swasta/ekspedisi, sopir truk, dan lain-lain untuk mematuhi peraturan tentang baik peraturan perkarantinaan (lalulintas media pembawa), peraturan/pedoman pemeliharaan kesehatan dan perawatan kesehatan anjing (peraturan daerah), dan lain-lain. 
         
7. Kurangya keterlibatan ahli dan professional
     Sekelompok ahli disuatu bidang sangat diharapkan keterlibatannya dalam memberikan pencerahan tentang bagaimana usaha mencegah suatu kejadian agar tidak berdampak lebih luas, bisa memberikan motivasi dalam meluruskan keilmuan-kelimuan dengan muatan materi yang terkait dengan suatu hal yang sedang di hadapi masyarakat sosial, seperti permasalahan rabies, bagaimana kejadian dan perkembangan penyakit rabies tersebut dengan dampak-dampaknya sampai saat ini. Sehingga setiap aksi yang dilakukan oleh stakeholder dalam memberantas dan mempertahankan status daerahnya dari penyakit rabies cenderung progresif dan bersemangat. Keterlibatan profesional tidak hanya memberikan dampak positif buat stakeholder pemerintahan, melainkan memberikan pembelajaran dan ilmu pengetahuan kepada masyarakat luas.

          Untuk itu dari beberapa faktor diatas dapat dicermati satu persatu dan bahkan itu masih kurang, bahwa hal-hal itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Semangat kita semua untuk menggerakkannya secara bersama-sama dan menjalankannya sebaik-mungkin. Di mulai dari diri kita sendiri untuk memahami bagaimana cara memahami agar tidak merugikan orang lain disekitar kita.
Tetap Semangat Untuk Satu Mencegah Penularan Penyakit Rabies...!!!!

Penulis: drh. Amirullah ( Sumber: dari berbagai sumber)












PETANI MUDA ASET EKONOMI PERTANIAN INDONESIA MASA DEPAN

          PETANI MUDA ASET EKONOMI PERTANIAN INDONESIA MASA DEPAN           Bersyukur Kepada Allah SWT, telah diberi kesempatan hidup sebaga...