Senin, 03 Februari 2020

KORTISOL PADA STRES KAMBING SELAMA TRANSPORTASI


BAB I
PENDAHULUAN
1.  1.  Latar Belakang
            Peternakan kambing lokal seperti kambing kacang saat ini semakin kurang diminati oleh petani karena telah banyak kambing persilangan seperti kambing peranakan etawah (PE) yang memiliki tampilan tubuh yang lebih besar serta volume dan jumlah karkas yang lebih banyak, sehingga kambing kacang lokal kurang potensial untuk dijadikan ternak penghasil pedaging.
Sampai saat ini transportasi hewan hidup tetap dilakukan untuk memindahkan hewan  dari suatu tempat ketempat lain dengan cepat dan mudah, hal itu merupakan  praktek peternakan yang tak terelakkan, dan telah diakui sebagai salah satu penyebab utama stres (Saeb et al., 2010).  Salah satu stres yang sering dijumpai dalam dunia peternakan dan sangat merugikan secara ekonomi ialah stres transportasi (Phillips, 2002). Beberapa faktor yang dapat menyebabkan stres pada ternak, antara lain manajemen sebelum transpor, kebisingan, getaran, hal-hal yang baru, pengelompokan, kepadatan, faktor iklim (temperatur, kelembaban, gas), restrain, waktu pemasukan dan pengeluaran saat transit, serta pemberian pakan dan minum saat pengangkutan, kualitas udara yang buruk dan pencampuran kelompok asing (Saeb et a.l, 2010). Juga handling dan saat dibawa menuju ke tempat pemotongan (Buil et al., 2003).
Stres transportasi secara langsung dapat menganggu mempengaruhi kesehatan hewan, metabolisme, system endokrin dalam tubuh hewan, kesejahteraan hewan. Dan secara tidak langsung akan memberikan efek buruk terhadap nilai ekonomis  hewan seperti penurunan berat badan dan performa hewan, kualitas karkas/daging, juga efek fisiologis seperti peningkatan aktivitas korteks adrenal, penurunan kekebalan, peningkatan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit infeksi (Saeb et al., 2010; Maejima et al., 2005.)
Secara biologis hewan dalam keadaan stress akan terjadi peningkatan konsentrasi kortisol. Kortisol memiliki sifat im­onosupresif akan mempengaruhi sintesis protein, mengurangi populasi eo­sinofil, limfosit dan makrofag/monosit, kemudian menimbulkan antropi jaringan limfoid, thymus, limpa dan kelenjar limfe, sehingga mempen­garuhi fungsi immune dan menurunkan derajat kesehatan (Guyton & Hall 2006; (Kannan et al., 2000).
Selama terjadi stimulasi terhadap sistem saraf simpatik dan hipotalamus-hipofisis adrenal akibat respon stres lingkungan fisik, biologis, maupun psikologis, maka  secara otomatis akan terjadi peningkatan konsentrasi serum kortisol diperlukan untuk memenuhi krisis energi selama stres fisik untuk ternak (Maejima et al., 2005, Petrauskas 2005). Konsetrasi kortisol merupakan salah satu indeks reaksi hewan untuk setiap stres lingkungan. Kannan et al ., (2000) mengatakan bahwa stres transportasi dapat meningkatkan nilai kortisol plasma melebihi nilai-nilai kortisol plasma normal di kambing 18 ng / mL.  Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kortisol pada kambing akan meningkat 9 kali lipat setelah mengalami transoprtasi selama 3 jam (Maejima et al., 2005).

1.2.  Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk:
1.    Untuk mengetahui adanya perubahan level bioindikator stress (kortisol)  pada kambing selama transportasi
2.    Untuk mengetahui ada tidaknya stress selama transportasi
1.3.  Manfaat Penulisan
Penulisan ini adalah diharapkan dapat memberikan tambahan informasi ilmiah mengenai bioindikator stress (kortisol)  pada kambing kacang selama transportasi.
BAB II
MATERI DAN METODE  PENULISAN

Penulisan ini disusun berdasarkan studi literature, artikel, jurnal, dan berbagai makalah lainnya.


















BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.    1. Profil Kambing Kacang
Menurut Davendra and Mcleroy (1982), secara umum sistematika kambing adalah sebagai berikut:
Kingdom        : Animals
Phylum          : Chordata
Group             : Cranita (Vertebrata)
Class              : Mammalia
Order              : Artiodactyla
Sub-order      : Ruminantia
Famili                         : Bovidae
Sub Famili     : Caprinae
Genus            : Capra atau Hemitragus
Spesies          :    - Capra hircus
                                         - Capra ibex
     - Capra caucasica
     - Capra pyrenaica
     - Capra falconeri
Kambing kacang merupakan kambing asli Indonesia yang juga banyak terdapat di Malaysia, memiliki ciri dengan daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi alam setempat, juga daya reproduksi yang sangat tinggi. Secara fisik kambing kacang memiiki cirri-ciri punggung lebih tinggi dari bahu, bulu pada garis punggung yang jantan lebih panjang dan kasar bentuk badannya kecil, tinggi sekitar 53 cm, berat badan antara 10 – 20 kg, warna bulu kebanyakan sawo matang sampai coklat tua, hitam belang, adakalanya putih, bulunya pendek, telinga kecil, tegak dan hidungnya rata (Mulyono dan Sarwono, 2004). Kambing ini cocok sebagai penghasil daging dan kulit, bersifat prolifik, tahan terhadap berbagai kondisi dan mampu beradaptasi dengan baik di berbagai lingkungan yang berbeda termasuk dalam kondisi pemeliharaan yang sangat sederhana (Mulyono dan Sarwono, 2004).
Masa pubertas dicapai pada umur sekitar 6 bulan pada yang jantan dan 5 bulan pada betina. Birahi pertama pada umur sekitar 10-12 bulan dan dapat melahirkan hingga 1-3 perkelahiran atau rata-rata 2 ekor, Bobot lahir tunggal kambing kacang 3-5 kg (Sarwono, 2011). Berat badan dewasa  sekitar 20-25 kg.  Bobot badan kambing kacang betina pada saat mencapai  dewasa tubuh sekitar 20 kg (Devendra dan Burns, 1994) dengan tinggi pundak pada kambing kacang jantan  dewasa sekitar 53,80 cm dan kambing kacang betina sekitar 52,00 cm. Kambing jantan muda mencapai dewasa kelamin mulai umur 20-23 minggu, dan betina muda sekitar umur 300 hari (Mulyono dan Sarwono, 2004).
Frekuensi pernapasan yang normal bagi ternak kambing berkisar antara 26 – 54 kali per menit (Frandson, 1996). Kenaikan frekuensi pernapasan disebabkan oleh karena temperature lingkungan yang tinggi dan aktivitas otot bertambah. Ternak kambing mempunyai fekuensi denyut jantung yang lebih tinggi dari ternak ruminansi lainnya.  Denyut jantung kambing berkisar antara 70 – 135 kali per menit pada kambing dewasa dan pada anak kambing antara 100 – 120 kali per menit (Frandson, 1996). Kecepatan denyut jantung bereaksi pada pembongkaran panas tubuh. Bilamana panas hilang dalam waktu yang pendek, maka kecepatan jantung akan tinggi, suhu tubuh yang normal pada kambing berkisar antara dan menurut suhu tubuh kambing dewasa berkisar antara 38,5 0C – 40,5 0C (Frandson, 1996).

3.2.   Fisiologi Hormon Kortisol
Hormon kortisol atau glukokortikoid merupakan hormon steroid dari golongan glukoortikoid yang dihasilkan oleh oleh sel didalam zona fasikulata pada kelenjar adrenal. Hormon kortisol bertanggung jawab untuk memelihara homeostasis garam dan air, kontrol tekanan darah, dan mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, lemak, dan tulang (Petrauskas, 2005). Hormon kortisol mengkonversi protein menjadi glukosa untuk meningkatkan kadar gula darah, bekerja sama dengan hormon insulin untuk menjaga kadar gula darah agar konstan, mengurangi peradaangan, memelihara stabilitas tekanan darah, menjaga kerja system kekebalan tubuh (Guyton dan Hall, 2006).  Pada saat yang sama akan terjadi peningkatan kecepatan metabolisme sel di seluruh tubuh, dan peningkatan kebutuhan energi yang mengakibatkan bertambahnya kebutuhan oksigen sehingga terjadi percepatan eritropoesis pada sumsum tulang (Guyton dan Hall, 2006).
Secara fisiologi, situasi stres mengaktivasi hipotalamus yang selanjutnya mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal. Sistem saraf simpatik berespon terhadap impuls saraf dari hipotalamus yaitu dengan menstimulir medula adrenal dan segera melepaskan katekolamin (epinefrin atau adrenalin dan norepinefrin atau noradrenalin) ke dalam aliran darah dan mengaktivasi berbagai organ dan otot polos yang berada di bawah pengendaliannya, seperti meningkatkan kecepatan denyut jantung dan mendilatasi pupil. Sistem korteks adrenal diaktivasi jika hipotalamus mensekresikan corticotrophin releasing factor (CRF),  suatu zat kimia yang bekerja pada kelenjar hipofisis yang terletak tepat di bawah hipotalamus. Kelenjar hipofisis selanjutnya mensekresikan hormon adreno corticotroprin hormone (ACTH), yang dibawa melalui aliran darah ke korteks adrenal. Peran ACTH terhadap korteks adrenal menyebabkan pelepasan kortisol dan glukokortikoid lainnya. Segala jenis stres merupakan rangsangan utama bagi peningkatan sekresi kortisol plasma, gula, dan creatine kinase  yang merupakan indikator yang berguna dari stres (Kannan et al., 2000).
Hormon kortisol dilepaskan dilepaskan baik pada saat stres akut maupun kronis dan berfungsi untuk menyuplai cadangan energy. Tingkat rangsangan stress akan mempengaruhi tingkat pelepasan hormon kortisol dalam darah sehingga menyebabkan perubahan tingkat proses pemecahan cadangan karbohidrat, lemak, protein untuk pembentukan suplay energy yang digunakan untuk menjaga homeostatis (Petrauskas, 2005). Glukoneogenesis adalah faktor penting untuk mengganti simpanan glikogen hati dan mempertahankan kadar glukosa darah, bahkan glukosa akan dihambat penyerapannya kejaringan lain hanya karena glukosa digunakan sebagai bahan bakan metabolik dan sumber energi otak serta harus tersedia secara adekuat (Guyton dan Hall, 2006).
 Kortisol mempunyai efek metabolik dengan merangsang penguraian protein di banyak jaringan, terutama otot dan meningkatkan konsentrasi asam amino darah yang dapat digunakan untuk proses glukoneogenesis juga dapat digunakan pada jaringan lain yang memerlukannya, atau digunakan untuk memperbaiki jaringan yang rusak  dan sintesis struktur sel yang baru. Kortisol juga dapat meningkatkan lipolisis dan menguraikan lemak  yang tersimpan dalam jaringan adiposa menjadi asam lemak untuk dibebaskan ke dalam darah. Asam lemak yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan bakar metabolik alternatif dan sumber energi bagi jaringan sebagai pengganti glukosa, sehingga glukosa dapat dihemat untuk otak. Akibat  penguraian simpanan protein dan lemak oleh kortisol dapat  menambah simpanan karbohidrat dan meningkatkan ketersediaan glukosa darah untuk membantu melindungi otak dari malnutrisi selama periode puasa juga kondisi stres (Guyton dan Hall, 2006).
Gambar.1. Kontrol jalur sekresi kortisol /plasma kortikosteroid (Maejima et al., 2005)
3.3.      Patofisiologi Hormon kortisol
Peningkatan kadar kortisol plasma (dalam sirkulasi darah) akibat pelepasan adenocorticotrophin hormone (ACTH) oleh adanya interaksi komponen-komponen yang terdapat dalam hypothalamic-pituitary axis (HPA-axis)  yang berlokasi dibawah hipotalamus karena adanya rangsangan pelepasan corticotrophin releasing factor (CRF) melalui akitivitas neurotransmiter, CRF dilepaskan karena adanya berbagai jenis respon tubuh berupa stress, baik stres fisik maupun stres psikis Kortisol juga dapat mempengaruhi penekanan sintesis protein, mengurangi populasi eo­sinofil, limfosit dan makrofag/monosit, kemudian menimbulkan antropi jaringan limfoid, thymus, limpa dan kelenjar limfe sehingga mempen­garuhi fungsi immune (Bowman et al., 2003). 
Stres pertama akan menyebabkan baik imunodepresi (melalui peningkatan kadar glukokortikoid) maupun imunostimulasi (dengan menurunkan kadar steoid gonadal). Pengaruh stres terhadap sistem imun adalah akibat pelepasan neuropeptida dan adanya reseptor neuropeptida pada limfosit B dan limfosit T. Regulasi sistem imun pada keadaan stress juga dipengaruhi oleh katekolamin yang mengatur fungsi-fungsi imunologis seperti proliferasi sel, produksi sitokin dan antibodi, aktivitas sitolitik dan komunikasi sel.
Kecocokan neuropeptida dan reseptornya akan menyebabkan stres dapat mempengaruhi kualitas sistem imun individu.  Menurut Grandin, (2007), semakin tinggi tingkat keparahan stress, maka akan semakin tinggi kadar hormon kortisol yang dibebaskan dan akan mencapai nilai puncak setelah 15-20 menit hewan terpapar oleh stressor. Kortisol plasma akan meningkat dalam waktu 30 menit awal setelah transportasi dan mencapai puncak pada 1 jam kemudian (Fasio et al., 2008). Honkavaara et al., (2003) menyatakan bahwa konsentrasi kortisol akan meningkat lebih tinggi dan turun secara signifikan pada transportasi dengan periode pendek (kurang lebih 1,5 jam) dibandingkan periode panjang (7-10 jam).

3.4. Darah
            Darah merupakan cairan yang bersirkulasi di dalam tubuh yang terdiri atas bagian cair (plasma darah) dan benda-benda darah. Darah dibagi menjadi dua bagian, yaitu cairan dan padatan Sel darah (padatan) berdasarkan morfologinya terdiri atas eritrosit (sel darah merah),, leukosit (sel darah putih), dan trombosit (platelet). Leokosit terdiri dari Leukosit granuler (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan leukosit agranuler ( monosit dan limfosit) (Frandson, 1996). Bagian cairan  disebut plasma yang sebagian besar terdiri atas 91-94% air. Plasma darah dapat menghasilkan serum setelah mengendapkan faktor antikoagulan dan protein-protein dalam darah (Frandson, 1996).Bagian utama plasma adalah protein yang terdiri dari albumin, globulin juga terdapat fibrinogen yang dalam proses pembekuan darah akan berubah menjadi fibrin, bagian plasma yang tidak membeku pada proses pembekuan yang berupa cairan kuning disebut serum (Ganong, 2010).
Darah memiliki tiga fungsi utama dalam tubuh, diantaranya adalah sebagai sistem transportasi, sistem regulasi, dan sistem pertahanan tubuh (Guyton dan Hall, 1997). Darah sebagai sistem transportasi berperan dalam membawa oksigen, karbondioksida, zat nutrisi, hasil sisa metabolisme dan hormon. Peranannya sebagai sistem regulasi adalah menjaga homeostasis dan mengatur suhu tubuh yang disebabkan oleh stress lingkungan dan transportasi, infeksi kuman penyakit, dan fraktura (Schalm et al., 1975; Frandson, 1996). Darah merupakan indikator dalam perubahan fisiologi pada tubuh hewan. Pada hewan yang mengalami stres panas, akan menyebabkan dehidrasi sehingga akan berpengaruh  pada jumlah dan bentuk eritrosit serta pelepasan kadar hemoglobin yang terikat. Akibat dehidrasi, viskositas darah akan semakin meningkat  akibat pengaruh hormone epinefrin dalam kerja limpa dan darah menjadi kental terutama pada saat hewan mengalami, luka, trauma, ketakutan, sakit atau latihan (Guyton dan Hall, 2006).
Respon fisiologis hewan terhadap stres sebagian besar diperantarai melalui jalur neuroendokrin pusat dan perifer, yang berpuncak pada perubahan besar dalam pembentukan dan fungsi leukosit darah. Terdapat 5 jenis utama leukosit yang bekerja sama untuk membangun mekanisme utama tubuh dalam melawan infeksi, termasuk menghasilkan antibody yaitu neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit dan monosit. Kondisi stres juga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan persentase neutrofil dan menghambat sekresi limfosit dari sumsum tulang (Schalm, 2010). Kannan et al., (2000) yang melaporkan bahwa lama waktu transportasi sangat mempengaruhi neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil dan rasio neutrofil:limfosit pada kambing Spanish yang ditransportasi selama 2,5 jam di Amerika Serikat.

BAB VI
PEMBAHASAN
4.1. Stres
Stres merupakan respons biologi yang ditimbulkan ketika individu mengalami ancaman terhadap keseimbangannya atau homeostasis tubuh (Moberg dan Mench, 2000). Mekanisme modifikasi fisiologis yang memungkinkan hewan untuk merespon rangsangan stres dengan perubahan homeostasis yang minimum (Mudron et al., 2005). Stress secara umum dikelompokkan dalam beberapa kelompok yaitu:
4.1.1.   Eustress
Eustres adalah respon stress yang bersifat positif, terjadi dalam  jangka pendek yang bisa memberikan kekuatan atau semangat, bisa dikendalikan, meningkatkan aktifitas fisik. (Tarrant et al., 1992).
4.1.2.   Distress 
Distres adalah respon stres yang dianggap sukar dikendalikan oleh individu, destruktif (bersifat merusak). Bisa menjadi beban mental (psikis) fisik bagi individu yang mengalaminya hingga berujung pada keadaan yang tidak menguntungkan, rekatif, dapat menimbulkan penurunan performa dan dapat menimbulkan penyakit sistemik. (Tarrant et al., 1992). Stres jenis distress terbagi menjadi 2 tipe, yaitu stres akut dan stres kronis
4.1.2.1.    Stres akut adalah stres yang intens yang muncul dan hilang dengan cepat meskipun stres ini cukup tinggi. Misalnya saat hewan dalam lingkungan yang terbatas kemudian menghadapi hal-hal yang mengancam dirinya.
4.1.2.2.    Stres kronis adalah stres yang dapat dan  sudah berlangsung cukup lama, bisa berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.




4.2.  Stresor
Stresor adalah faktor penyebab atau pemicu terjadinya stress, macam-macam stressor diantaranya (Tarrant et al., 1992).

4.2.1.    Stresor Fisik
Stresor fisik yang dapat menyebabkan stress adalah  penanganan pada saat menaikkan atau menurunkan kambing, suara bising,  makanan, dan kepadatan selama transportasi jarak jauh, perpindahan kandang dan tempat tinggal,  serta perubahan iklim dan cuaca lingkungan (Zulkifli et al., 2010)
4.2.2.   Kimia
Disebabkan oleh zat kimia seperti pengaruh obat-obatan, zat beracun, gas dan lain-lain.
4.2.3.   Psikis
            Tekanan dari dalam diri individu seperti frustasi, kecemasan (anxiety), trauma, perubahan social, perubahan pola makan, aktivitas, kelelahan, persaingan dalam kelompok, kehadiran predator, konflik antara kelompok hewan, ancaman predator (Zulkifli et al., 2010).

4.3.    Dampak Stres
Respon stres terhadap tubuh menurut (Tarrant et al., 1992), me­nyebabkan beberapa perubahan fisiologis antara lain: (a) memobilasi energi untuk mempertahankan fungsi otot dan otak, (b) meningkatkan responsibilitas/ketaja­man/kepekaan tubuh terhadap ancaman atau ketidaknyamanan (c) meningkatkan kerja jantung, respirasi, distribusi aliran darah, meningkatkan subtract dan suplai energi ke otot dan otak, (d) Perubahan sistem modulasi respon imun tubuh, (e) menghambat system fisiologi reproduksi dan perilaku seks, (f) menurunkan nafsu makan. Apabila individu mengalami stress, maka tubuh akan merespon secara fisiologis, psikis, fisik dan biologis yang diawali dengan perubahan kepekaan terhadap ancaman dan ketidaknyamanan individu meningkat, kerja jantung menjadi meningkat, respirasi, distribusi aliran darah dan suplai energi ke otot dan otak juga meningkat untuk mempertahankan fungsinya, modulasi perubahan respon imun, nafsu makan turun, diare, berat badan juga menurun. Gelisah, keluar keringat yang berlebihan sampai dehidrasi, bulu/rambut berdiri, pupil mata membesar juga dapat menjadi emosional dan terjadi perubahan perilaku.
Apapun jenis stresornya, tubuh akan secara otomatis akan mempersiapkan diri untuk menghadapi pemicu rangasangan stress, pada kondisi tersebut terjadi respon melawan atau melarikan diri ( fight or flight). Kecemasan adalah reaksi pertama ketka terjadi stress, yang selanjutnya diikuti oleh tahap perlawanan dan pengerahan kimiawi dari sitem pertahanan tubuh. Perlawanan terhadap kondisi darurat akan memicu peningkatan skresi hormone stress, sel darah merah lebih banyak dilepaskan untuk membantu membawa oksigen, dan sel darah putih dihasilkan lebih banyak untuk melawan infeksi, peningkatan kecepatan denyut jatung, peningkatan tekanan darah dan peningkatan pernafasan, dan peningkatan metabolisme untuk persiapan penggunaan energi yang cukup banyak sampai berakhirnya ancaman yang dirasakan (Grandin, T. 1997). Seyle menanamkan proses ini dengan sindrom adaptasi umum (General Adaptation Syndrome) yang dikendalikan oleh hipotalamus setelah hipotalamus menerima rangsangan stressor fisik dan psikologis.

4.4.  Hubungan Stress  dengan Transportasi
Transportasi ternak merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memindahkan  ternak dari suatu lokasi kelokasi yang lain, kegiatan ini efektif dan sangat sering dilakukan untuk memenuhi kebutuhan permintaan ternak suatu daerah tertentu.  Berbagai stress fisik dan stres psikologis dapat terjadi selama perjalanan akibat dari penanganan, suara, isolasi, suhu ekstrim, kekurangan pakan dan minum, getaran, berdiri terlalu lama, kelembaban dan kepadatan tinggi selama transportasi juga saat bongkar muat (Kannan et al., 2000). Kepadatan ternak yang tidak diperhatikan akan dapat menyebabkan penuruan kualitas daging akibat memar dan gesekan selama perjalanan, karena alat angkut atau sarana transportasi yang digunakan bukan alat angkut khusus untuk hewan (Zulkifli.et al., 2010). Handling waktu menaikkan dan menurunkan hewan yang dilakukan dengan kasar, kurangnya pengalaman pengemudi  mengatur kecepatan laju dan goncangan alat angkut juga sangat menentukan stress pada hewan (Built et al., 2004; Grandin, 2007).
Hamito. D. (2010) menjelaskan bahwa stress transportasi menyebabkan penurunan berat badan, hiperadrenalis, peningkatan mobilisassi glikogen otot, serta turunnya cadangan energy otot, sehingga akan berbahaya untuk kesehatan dan bahkan kematian. Hal itu disebabkan karena selama perjalanan, jarak yang ditempuh yang terlalu jauh dan lama tanpa istirahat, makan, dan minum juga pelayanan dan kontrol kesehatan hewan. Respon stres  akan menjadi berbahaya apabila terjadi dalam waktu yang cukup lama dan berkelanjutan serta mengakibatkan terganggunya homeostasis, lebih banyak urinasi dan defekasi, ketidakseimbangan elektrolit, dehidrasi, defisit energi meningkatnya laju respirasi, denyut jantung (Fuch et al., 2001).
Menurut Canadian Agri-Food Reseach Council (2001) ternak tidak dianjurkan untuk diangkut lebih dari 36 jam perjalanan tanpa berhenti dan harus diistirahatkan untuk pemberian pakan dan minum apabila perjalanan  memerlukan waktu lebih 24 jam perjalanan (Greenwood et al., 1993). Transportasi selama 24-48 jam akan menyebabkan stress kronik. Dan akan mempengaruhi system imun, pencernaan, hormonal reproduksi, hormonal pertumbuhan, energy metabolisme dan respon terhadap infeksi ataupun penyakit (Etim et al., 2013). Transportasi  selama 48 jam akan menyebabkan perubahan pada jumlah leukosit, neutrofil, dan serum kortisol tapi tidak terjadi pada limpfosit. Namun, pada transit yang tidak lama akan mengurangi jumlah neutrofil dan meningkatkan konsetrasi kortisol (Becker et al., 1992).
Stress juga dapat terjadi pada saat dibawa menuju ke tempat pemotongan (Buil et al., 2003). Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa stres yang dialami sebelum dan selama proses pemotongan dapat mempengaruhi kualitas daging dan produk akhir dari daging (Chulayo et al., 2012). Peningkatan pemecahan glikogen otot, peningkatan proses glikolisis anaerobik sampai peningkatan pembentukan asam laktat menyebabkan turunnya  kualitas daging (Colditz et al., 2006). Peningkatan suhu otot menyebabkan pH mengalami penurunan sehingga menyebabkan denaturasi protein retikulum sarkoplasma dan penurunan kapasitas pengikatan air pada jaringan sehingga daging menjadi nampak pucat, lembek, dan eksudatif (Chulayo et al., 2012).



















BAB V
KESIMPULAN
Stress selama transportasi akan menyebabkan peningkatan kadar kortisol, perubahan kortisol akan mempengaruhi performa ternak kambing, nilai jual kambing yang turun akan mengurangi nilai jualnya. Perlakuan selama transportasi, kelayakan alat angkut, penanganan medis dan ketersedian pakan dan minum harus diperhatikan. 
























DAFTAR PUSTAKA
Bowman, R.E., Beck,K.D., dan Luine, V.N., 2003. Chronic stress effect on memory: sex differences in performance and monoaminergic activity. Hormones and Behavior, 43:48-59.
Becker, B. A., Y. Niwano, H. D. Johnson. 1992. Physiologic And Immune Responses Associated With 48-Hour Fast Of Pigs. Lab. Anim. Sci. 42, 51-53.
Buil T., María G.A., Villarroel M., Liste G., López M. 2004. Critical points In The Transport of Commercial Rabbits To Slaughter In Spain That Could Compromise Animals’ welfare.  World Rabbit Sci.12: 269 – 279.
Colditz, I.G., D.L. Watson, R. Kilgour, D.M. Ferguson, C Prideaux, J. Ruby, P.D.Kirkland, and K Sullivan. 2006. Impact of animal health and welfare research within the CRC for Cattle and Beef Quality on Australian beef production', Australian J. Experiment. Agricult. 46:233-244.
Chulayo, A.Y, O.Tada, and V. Muchenje. 2012. Research on pre-slaughter stress and meat quality: A review of challenges faced under practical conditions, Appl. Anim. Husb. Rural Develop. 5:1-6.
Devendra, C. and G.B. McLeroy. 1982. Goat and Sheep Production in the Tropics. Longman Group Limited, Harlow, Essex, UK.
Etim. NN, Mary  E. W, Emem I. Evans and Edem E. A.O.  2013  Physiological and Behavioural Responses of Farm Animals to Stress: Implications to Animal Productivity. Department Of Animal Science, Akwa Ibom State University,  Obio Akpa State, Nigeria.American Journal Of Advanced Agricultural Research (ajaar). vol. 1, pp. 53-61.


Frandson, R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi 4.Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Fazio, E., Medica, P., Albergina, D., Cavaleri, S., Cravana C.,  Ferlazzo, A. 2005. Cortisol Levels As Indicator Of Stress In Domestic Goats Under Different Housing Systems
Fuch, Flügge G, O F, Lucassen P, Vollmann-Honsdorf GK, Michaelis T 2001.Stres psikososial, glukokortikoid, dan perubahan struktural dalam hippocampus tikus pohon. Physiology & Behavior 73: 285-291.
Guyton, A. C dan Hall, J. E. 2006. Textbook of Medical Physiology, 11th  Edition. International Edition ISBN 0-8089-2317-X  Philadelphia, Pennsylvania
Greenwood P.L. and Da Shutt. 1993. Salivary And Plasma Cortisol As An Index Of Stress In Goats. New South Wales Agriculture, Elizabeth Macarthur Agricultural Institute PMB 8, Camden, New South Wales 2570. Aust Vet J69: 161 – 163  No 7.
Ganong, W.F. 2010. Review of Medical Physiology. 23th Ed. ISBN: 978-0-07-160568-7. The McGraw-Hill Companies
Grandin, T. 1997. “Assessment of stress during handling and transport”. Journal of Animal Science, Vol. 1. 15:249-257.
Hamito. D. 2010. Sheep and Goat Transport.  Teknical Bulletin. No 38. Ethiopia Sheep and Goat Productivity Improvement Program
Honkavaara M, Rintasalo E, Ylonen J, Pudas T. 2003. Meat quality and transport stress of cattle. Dtsch Tierarztl Wochenschr 110:125-128.
Kannan, G., Terrill, TH, Kouakou, B. Gazal, OS, Gelaye, S., Amoah, EA dan Samake, S., 2000. Transportation of goats: effects on physiological stress responsses  and live weight loss: Journal of Animal Science . 78:1450-1457.
.Maejima, Y., M. AOYAMA, A. ABE, S. Sugita (2005): Induced expression of c-fos in the diencephalon and pituitary gland of goats following transportation1. J. Anim. Sci. 83, 1845-1853.
Mudron P, Rehage J, Sallmann HP, Holtershinken M, Scholz H. 2005. Stress response in dairy cows related to blood glucose. Acta Vet Brno. 74:37-42.
Moberg, G. P. 2000. “The Biology of Animal Stress;Basic Principle And Implications for Animal Welfare”. CABI Publishing. CAB International, Wallingford, Oxion OX108DE, New York
Mulyono, S dan Sarwono, B., 2004. Penggemukan Kambing Potong. Penebar Swadaya. Jakarta
Maejima, Y., M. Aoyama, A. Abe, S. Sugita (2005): Induced Expression Of  C-fos In The Diencephalon And Pituitary Gland Of Goats Following Transportation. J. Anim. Sci. 83, 1845-1853.
Petrauskas L. 2005. Monitoring Stress Hormones In Rehabilitated And Captive Otariids.[Thesis]. Fairbanks (US): University of Alaska Fairbanks.
Phillips, C. 2002. Cattle Behaviour and Welfare. UK. Blackwell Publishing.
Sarwono, B., 2011. Beternak Kambing Unggul.Cetakan I. Penebar Swadaya. Jakarta
Saeb, M., Baghshani, H. Nazifi, S. dan Saeb, S. 2010. Physiological Response Of Dromedary Camels To Road Transportation In Relation To Circulating Levels Of Cortisol, Thyroid Hormones And Some Serum Biochemical Parameters. Trop Anim Health Prod. 42:55–63.
Schalm, O.W., K. Jane W and Douglas. J. W. 2010.  Veterinary Hematology. 6 th  Ed. Stacey R. Byers and John W. Kramer (Normal Hematology of Sheep and Goats).Chapter 108 P: 836-842. From Jain NC. Schalm’s Veterinary Hematology, 4th ed. Philadelphia:Lea & Febiger, 1986;208 – 239. Blackwell Publishing Ltd. State Avenue, Ames, Iowa, USA
 Tarrant, P.V., F.J. Kenny, D. Harrington and M. Murphy. 1992. Long Distance Transportation of Steers to Slaughter, Effect of Stocking Density on Physiology, Behaviour and Carcass Quality. Livest. Prod. Sci. 30: 223 – 238.
Zulkifli I, Norbaiyah B, Cheah.Y.W, Soleimani A.F, Sazili A. Q, Rajion M.A and Goh Y.M 2010. Physiological responses in goats subjected to road transportation under the hot, humid tropical conditions. Int. J. Agric. Biol., 12: 840–844.


PETANI MUDA ASET EKONOMI PERTANIAN INDONESIA MASA DEPAN

          PETANI MUDA ASET EKONOMI PERTANIAN INDONESIA MASA DEPAN           Bersyukur Kepada Allah SWT, telah diberi kesempatan hidup sebaga...