BAB
I
PENDAHULUAN
1. 1.
Latar Belakang
Peternakan kambing lokal seperti
kambing kacang saat ini semakin kurang diminati oleh petani karena telah banyak
kambing persilangan seperti kambing peranakan etawah (PE) yang memiliki tampilan
tubuh yang lebih besar serta volume dan jumlah karkas yang lebih banyak, sehingga
kambing kacang lokal kurang potensial untuk dijadikan ternak penghasil
pedaging.
Sampai saat ini
transportasi hewan hidup tetap dilakukan untuk memindahkan hewan dari suatu tempat ketempat lain dengan cepat
dan mudah, hal itu merupakan praktek
peternakan yang tak terelakkan, dan telah diakui sebagai salah satu penyebab
utama stres (Saeb et al.,
2010). Salah satu stres yang sering dijumpai dalam dunia
peternakan dan sangat merugikan secara ekonomi ialah stres transportasi
(Phillips, 2002). Beberapa faktor yang dapat menyebabkan stres pada ternak,
antara lain manajemen sebelum transpor, kebisingan, getaran, hal-hal yang baru,
pengelompokan, kepadatan, faktor iklim (temperatur, kelembaban, gas), restrain,
waktu pemasukan dan pengeluaran saat transit, serta pemberian pakan dan
minum saat pengangkutan, kualitas
udara yang buruk dan pencampuran kelompok asing (Saeb et a.l, 2010).
Juga handling dan saat dibawa menuju ke tempat pemotongan (Buil et al., 2003).
Stres transportasi secara langsung
dapat menganggu mempengaruhi kesehatan hewan, metabolisme, system endokrin
dalam tubuh hewan, kesejahteraan hewan. Dan secara tidak langsung akan
memberikan efek buruk terhadap nilai ekonomis
hewan seperti penurunan berat badan dan performa hewan, kualitas
karkas/daging, juga efek fisiologis seperti peningkatan aktivitas korteks
adrenal, penurunan kekebalan, peningkatan morbiditas dan mortalitas akibat
penyakit infeksi (Saeb et al.,
2010; Maejima et al., 2005.)
Secara biologis hewan dalam keadaan stress akan terjadi
peningkatan konsentrasi kortisol. Kortisol memiliki sifat imonosupresif akan mempengaruhi sintesis
protein, mengurangi populasi eosinofil, limfosit dan makrofag/monosit,
kemudian menimbulkan antropi jaringan limfoid, thymus, limpa dan
kelenjar limfe, sehingga mempengaruhi fungsi immune dan menurunkan
derajat kesehatan (Guyton & Hall 2006; (Kannan et al., 2000).
Selama terjadi
stimulasi terhadap sistem saraf simpatik dan hipotalamus-hipofisis adrenal
akibat respon stres lingkungan fisik, biologis, maupun psikologis, maka secara otomatis akan terjadi peningkatan
konsentrasi serum kortisol diperlukan untuk memenuhi krisis energi selama
stres fisik untuk ternak (Maejima et
al., 2005, Petrauskas 2005). Konsetrasi
kortisol merupakan salah satu indeks reaksi hewan untuk setiap stres
lingkungan. Kannan et al ., (2000) mengatakan bahwa stres
transportasi dapat meningkatkan nilai kortisol plasma melebihi nilai-nilai
kortisol plasma normal di kambing 18 ng / mL.
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kortisol pada kambing
akan meningkat 9 kali lipat setelah mengalami transoprtasi selama 3 jam
(Maejima et al., 2005).
1.2. Tujuan Penulisan
Penulisan
ini bertujuan untuk:
1.
Untuk
mengetahui adanya perubahan level bioindikator stress (kortisol)
pada kambing selama transportasi
2.
Untuk
mengetahui ada tidaknya stress selama transportasi
1.3. Manfaat Penulisan
Penulisan ini adalah
diharapkan dapat memberikan tambahan informasi ilmiah mengenai bioindikator stress
(kortisol) pada kambing kacang selama
transportasi.
BAB
II
MATERI
DAN METODE PENULISAN
Penulisan ini disusun
berdasarkan studi literature, artikel, jurnal, dan berbagai makalah lainnya.
BAB
III
TINJAUAN PUSTAKA
3.
1. Profil Kambing Kacang
Menurut Davendra and Mcleroy (1982), secara umum
sistematika kambing adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Animals
Phylum : Chordata
Group : Cranita (Vertebrata)
Class
: Mammalia
Order
: Artiodactyla
Sub-order
: Ruminantia
Famili
: Bovidae
Sub
Famili : Caprinae
Genus
: Capra atau Hemitragus
Spesies
: - Capra hircus
- Capra ibex
- Capra caucasica
- Capra pyrenaica
-
Capra falconeri
Kambing kacang merupakan kambing asli Indonesia yang juga
banyak terdapat di Malaysia, memiliki ciri dengan daya adaptasi yang tinggi
terhadap kondisi alam setempat, juga daya reproduksi yang sangat tinggi. Secara
fisik kambing kacang memiiki cirri-ciri punggung lebih tinggi dari bahu, bulu
pada garis punggung yang jantan lebih panjang dan kasar bentuk badannya kecil,
tinggi sekitar 53 cm, berat badan antara 10 – 20 kg, warna bulu kebanyakan sawo
matang sampai coklat tua, hitam belang, adakalanya putih, bulunya pendek,
telinga kecil, tegak dan hidungnya rata (Mulyono dan Sarwono, 2004). Kambing
ini cocok sebagai penghasil daging dan kulit, bersifat prolifik, tahan terhadap
berbagai kondisi dan mampu beradaptasi dengan baik di berbagai lingkungan yang
berbeda termasuk dalam kondisi pemeliharaan yang sangat sederhana (Mulyono dan
Sarwono, 2004).
Masa pubertas dicapai pada umur sekitar 6 bulan pada yang
jantan dan 5 bulan pada betina. Birahi pertama pada umur sekitar 10-12 bulan
dan dapat melahirkan hingga 1-3 perkelahiran atau rata-rata 2 ekor, Bobot lahir
tunggal kambing kacang 3-5 kg (Sarwono, 2011). Berat badan dewasa sekitar 20-25 kg. Bobot badan kambing kacang betina pada saat
mencapai dewasa tubuh sekitar 20 kg
(Devendra dan Burns, 1994) dengan tinggi pundak pada kambing kacang jantan dewasa sekitar 53,80 cm dan kambing kacang
betina sekitar 52,00 cm. Kambing jantan muda mencapai dewasa kelamin mulai umur
20-23 minggu, dan betina muda sekitar umur 300 hari (Mulyono dan Sarwono,
2004).
Frekuensi pernapasan yang normal bagi ternak kambing
berkisar antara 26 – 54 kali per menit (Frandson, 1996). Kenaikan frekuensi
pernapasan disebabkan oleh karena temperature lingkungan yang tinggi dan
aktivitas otot bertambah. Ternak kambing mempunyai fekuensi denyut jantung yang
lebih tinggi dari ternak ruminansi lainnya.
Denyut jantung kambing berkisar antara 70 – 135 kali per menit pada
kambing dewasa dan pada anak kambing antara 100 – 120 kali per menit (Frandson,
1996). Kecepatan denyut jantung bereaksi pada pembongkaran panas tubuh.
Bilamana panas hilang dalam waktu yang pendek, maka kecepatan jantung akan
tinggi, suhu tubuh yang normal pada kambing berkisar antara dan menurut suhu
tubuh kambing dewasa berkisar antara 38,5 0C – 40,5 0C (Frandson,
1996).
3.2. Fisiologi Hormon Kortisol
Hormon kortisol atau glukokortikoid merupakan hormon
steroid dari golongan glukoortikoid yang
dihasilkan oleh oleh
sel didalam zona fasikulata pada kelenjar adrenal. Hormon
kortisol bertanggung jawab untuk memelihara homeostasis garam dan air, kontrol
tekanan darah, dan mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, lemak, dan
tulang (Petrauskas, 2005). Hormon kortisol mengkonversi protein menjadi glukosa untuk
meningkatkan kadar gula darah, bekerja sama dengan hormon insulin untuk menjaga
kadar gula darah agar konstan, mengurangi peradaangan, memelihara stabilitas
tekanan darah, menjaga kerja system kekebalan tubuh (Guyton dan
Hall, 2006). Pada saat yang sama akan
terjadi peningkatan kecepatan metabolisme sel di seluruh tubuh, dan peningkatan
kebutuhan energi yang mengakibatkan bertambahnya kebutuhan oksigen sehingga
terjadi percepatan eritropoesis pada sumsum tulang (Guyton dan Hall, 2006).
Secara fisiologi,
situasi stres mengaktivasi hipotalamus yang selanjutnya mengendalikan dua
sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal. Sistem
saraf simpatik berespon terhadap impuls saraf dari hipotalamus yaitu dengan
menstimulir medula adrenal dan segera melepaskan katekolamin (epinefrin atau
adrenalin dan norepinefrin atau noradrenalin) ke dalam aliran darah dan
mengaktivasi berbagai organ dan otot polos yang berada di bawah
pengendaliannya, seperti meningkatkan kecepatan denyut jantung dan mendilatasi
pupil. Sistem korteks adrenal diaktivasi jika hipotalamus mensekresikan corticotrophin releasing
factor (CRF),
suatu zat kimia yang
bekerja pada kelenjar hipofisis yang terletak tepat di bawah hipotalamus.
Kelenjar hipofisis selanjutnya mensekresikan hormon adreno corticotroprin hormone (ACTH), yang dibawa melalui aliran
darah ke korteks adrenal. Peran ACTH terhadap korteks adrenal menyebabkan
pelepasan kortisol dan glukokortikoid lainnya. Segala jenis stres merupakan
rangsangan utama bagi peningkatan sekresi kortisol plasma, gula, dan creatine kinase yang merupakan indikator yang berguna dari
stres (Kannan et al., 2000).
Hormon kortisol dilepaskan
dilepaskan baik pada saat stres akut maupun kronis dan berfungsi untuk
menyuplai cadangan energy. Tingkat
rangsangan stress akan mempengaruhi tingkat pelepasan hormon kortisol dalam
darah sehingga menyebabkan perubahan tingkat proses pemecahan cadangan
karbohidrat, lemak, protein untuk pembentukan suplay energy yang digunakan
untuk menjaga homeostatis (Petrauskas, 2005).
Glukoneogenesis adalah faktor penting untuk mengganti simpanan glikogen hati
dan mempertahankan kadar glukosa darah, bahkan glukosa akan dihambat
penyerapannya kejaringan lain hanya karena glukosa digunakan sebagai bahan
bakan metabolik dan sumber energi otak serta harus tersedia secara adekuat (Guyton
dan Hall, 2006).
Kortisol mempunyai
efek metabolik dengan merangsang penguraian protein di banyak jaringan,
terutama otot dan meningkatkan konsentrasi asam amino darah yang dapat
digunakan untuk proses glukoneogenesis juga dapat digunakan pada jaringan lain
yang memerlukannya, atau digunakan untuk memperbaiki jaringan yang rusak dan sintesis struktur sel yang baru. Kortisol
juga dapat meningkatkan lipolisis dan menguraikan lemak yang tersimpan dalam jaringan adiposa menjadi
asam lemak untuk dibebaskan ke dalam darah. Asam lemak yang dihasilkan dapat
digunakan sebagai bahan bakar metabolik alternatif dan sumber energi bagi
jaringan sebagai pengganti glukosa, sehingga glukosa dapat dihemat untuk otak.
Akibat penguraian simpanan
protein dan lemak oleh kortisol dapat
menambah simpanan karbohidrat dan meningkatkan ketersediaan glukosa
darah untuk membantu melindungi otak dari malnutrisi selama periode puasa juga
kondisi stres (Guyton dan Hall, 2006).
Gambar.1. Kontrol jalur sekresi kortisol /plasma kortikosteroid (Maejima et al., 2005)
3.3.
Patofisiologi Hormon kortisol
Peningkatan kadar kortisol plasma (dalam
sirkulasi darah) akibat pelepasan adenocorticotrophin hormone (ACTH)
oleh adanya interaksi komponen-komponen yang terdapat dalam hypothalamic-pituitary
axis (HPA-axis) yang berlokasi
dibawah hipotalamus karena adanya rangsangan pelepasan corticotrophin
releasing factor (CRF) melalui akitivitas neurotransmiter, CRF dilepaskan
karena adanya berbagai jenis respon tubuh berupa stress, baik stres fisik
maupun stres psikis Kortisol juga dapat mempengaruhi
penekanan sintesis protein, mengurangi populasi eosinofil, limfosit dan
makrofag/monosit, kemudian menimbulkan antropi jaringan limfoid,
thymus, limpa dan kelenjar limfe sehingga mempengaruhi fungsi
immune (Bowman et al.,
2003).
Stres pertama
akan menyebabkan baik imunodepresi
(melalui peningkatan kadar glukokortikoid) maupun imunostimulasi (dengan menurunkan kadar steoid gonadal). Pengaruh
stres terhadap sistem imun adalah akibat pelepasan neuropeptida dan adanya
reseptor neuropeptida pada limfosit B dan limfosit T. Regulasi sistem imun pada
keadaan stress juga dipengaruhi oleh katekolamin yang mengatur fungsi-fungsi
imunologis seperti proliferasi sel, produksi sitokin dan antibodi, aktivitas
sitolitik dan komunikasi sel.
Kecocokan
neuropeptida dan reseptornya akan menyebabkan stres dapat mempengaruhi kualitas
sistem imun individu. Menurut Grandin, (2007), semakin tinggi tingkat keparahan stress, maka
akan semakin tinggi kadar hormon kortisol yang dibebaskan dan
akan mencapai nilai puncak setelah 15-20 menit hewan terpapar oleh stressor.
Kortisol plasma akan meningkat dalam waktu 30 menit awal setelah transportasi
dan mencapai puncak pada 1 jam kemudian (Fasio et al., 2008). Honkavaara et al., (2003) menyatakan bahwa
konsentrasi kortisol akan meningkat lebih tinggi dan turun secara signifikan
pada transportasi dengan periode pendek (kurang lebih 1,5 jam) dibandingkan
periode panjang (7-10 jam).
3.4. Darah
Darah merupakan cairan yang bersirkulasi
di dalam tubuh yang terdiri atas bagian cair (plasma darah) dan benda-benda
darah. Darah dibagi menjadi dua bagian, yaitu cairan dan padatan Sel darah
(padatan) berdasarkan morfologinya terdiri atas eritrosit (sel darah merah),,
leukosit (sel darah putih), dan trombosit (platelet). Leokosit terdiri dari
Leukosit granuler (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan leukosit agranuler (
monosit dan limfosit) (Frandson, 1996). Bagian cairan disebut plasma yang sebagian besar terdiri
atas 91-94% air. Plasma darah dapat menghasilkan serum setelah mengendapkan
faktor antikoagulan dan protein-protein dalam darah (Frandson, 1996).Bagian
utama plasma adalah protein yang terdiri dari albumin, globulin juga terdapat
fibrinogen yang dalam proses pembekuan darah akan berubah menjadi fibrin,
bagian plasma yang tidak membeku pada proses pembekuan yang berupa cairan
kuning disebut serum (Ganong, 2010).
Darah memiliki tiga fungsi utama dalam tubuh, diantaranya
adalah sebagai sistem transportasi, sistem regulasi, dan sistem pertahanan
tubuh (Guyton dan Hall, 1997). Darah sebagai sistem transportasi berperan dalam
membawa oksigen, karbondioksida, zat nutrisi, hasil sisa metabolisme dan
hormon. Peranannya sebagai sistem regulasi adalah menjaga homeostasis dan
mengatur suhu tubuh yang disebabkan oleh stress lingkungan dan transportasi,
infeksi kuman penyakit, dan fraktura (Schalm et al., 1975; Frandson, 1996). Darah merupakan indikator dalam
perubahan fisiologi pada tubuh hewan. Pada hewan yang mengalami stres panas,
akan menyebabkan dehidrasi sehingga akan berpengaruh pada jumlah dan bentuk eritrosit serta
pelepasan kadar hemoglobin yang terikat. Akibat dehidrasi, viskositas darah
akan semakin meningkat akibat pengaruh
hormone epinefrin dalam kerja limpa dan darah menjadi kental terutama pada saat
hewan mengalami, luka, trauma, ketakutan, sakit atau latihan (Guyton dan Hall,
2006).
Respon
fisiologis hewan terhadap stres sebagian besar diperantarai melalui jalur
neuroendokrin pusat dan perifer, yang berpuncak pada perubahan besar dalam
pembentukan dan fungsi leukosit darah. Terdapat 5 jenis utama leukosit yang
bekerja sama untuk membangun mekanisme utama tubuh dalam melawan infeksi,
termasuk menghasilkan antibody yaitu neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit
dan monosit. Kondisi stres juga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan
persentase neutrofil dan menghambat sekresi limfosit dari sumsum tulang (Schalm,
2010). Kannan et al., (2000) yang melaporkan bahwa lama waktu
transportasi sangat mempengaruhi neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil dan
rasio neutrofil:limfosit pada kambing Spanish yang ditransportasi selama 2,5
jam di Amerika Serikat.
BAB
VI
PEMBAHASAN
4.1. Stres
Stres merupakan respons biologi yang ditimbulkan ketika
individu mengalami ancaman terhadap keseimbangannya atau homeostasis tubuh
(Moberg dan Mench, 2000). Mekanisme modifikasi fisiologis yang memungkinkan
hewan untuk merespon rangsangan stres dengan perubahan homeostasis yang minimum
(Mudron et al., 2005). Stress secara umum dikelompokkan dalam beberapa
kelompok yaitu:
4.1.1. Eustress
Eustres adalah respon stress yang bersifat positif, terjadi
dalam jangka pendek yang bisa memberikan
kekuatan atau semangat, bisa dikendalikan, meningkatkan aktifitas fisik. (Tarrant
et al., 1992).
4.1.2.
Distress
Distres adalah respon stres yang dianggap sukar dikendalikan oleh
individu, destruktif (bersifat merusak). Bisa menjadi beban mental (psikis) fisik bagi individu yang
mengalaminya hingga berujung pada keadaan yang tidak menguntungkan, rekatif, dapat
menimbulkan penurunan performa dan dapat menimbulkan penyakit
sistemik. (Tarrant et al.,
1992). Stres jenis distress terbagi menjadi 2 tipe, yaitu stres akut dan stres
kronis.
4.1.2.1.
Stres akut adalah stres yang intens
yang muncul dan hilang dengan cepat meskipun stres ini cukup tinggi. Misalnya
saat hewan dalam lingkungan yang terbatas kemudian menghadapi hal-hal yang
mengancam dirinya.
4.1.2.2.
Stres kronis adalah stres yang dapat
dan sudah berlangsung cukup lama, bisa
berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
4.2. Stresor
Stresor
adalah faktor penyebab atau pemicu terjadinya stress, macam-macam stressor
diantaranya (Tarrant et al.,
1992).
4.2.1. Stresor Fisik
Stresor fisik yang dapat menyebabkan stress adalah penanganan pada saat menaikkan atau
menurunkan kambing, suara bising,
makanan, dan kepadatan selama transportasi jarak jauh, perpindahan kandang dan
tempat tinggal, serta perubahan iklim
dan cuaca lingkungan (Zulkifli et
al., 2010)
4.2.2. Kimia
Disebabkan
oleh zat kimia seperti pengaruh obat-obatan, zat beracun, gas dan lain-lain.
4.2.3. Psikis
Tekanan dari dalam diri individu
seperti frustasi, kecemasan (anxiety), trauma, perubahan social, perubahan pola
makan, aktivitas, kelelahan, persaingan dalam kelompok, kehadiran predator, konflik antara
kelompok hewan, ancaman predator (Zulkifli et al., 2010).
4.3. Dampak
Stres
Respon stres terhadap tubuh menurut (Tarrant et al., 1992), menyebabkan beberapa
perubahan fisiologis antara lain: (a) memobilasi energi untuk mempertahankan
fungsi otot dan otak, (b) meningkatkan responsibilitas/ketajaman/kepekaan tubuh
terhadap ancaman atau ketidaknyamanan (c) meningkatkan kerja jantung,
respirasi, distribusi aliran darah, meningkatkan subtract dan suplai energi ke
otot dan otak, (d) Perubahan sistem modulasi respon imun tubuh, (e) menghambat
system fisiologi reproduksi dan perilaku seks, (f) menurunkan nafsu makan. Apabila individu mengalami stress,
maka tubuh akan merespon secara fisiologis, psikis, fisik dan biologis yang
diawali dengan perubahan kepekaan terhadap ancaman dan ketidaknyamanan individu
meningkat, kerja jantung menjadi meningkat, respirasi, distribusi aliran darah
dan suplai energi ke otot dan otak juga meningkat untuk mempertahankan
fungsinya, modulasi perubahan respon imun, nafsu makan turun, diare, berat
badan juga menurun. Gelisah, keluar keringat yang berlebihan sampai dehidrasi,
bulu/rambut berdiri, pupil mata membesar juga dapat menjadi emosional dan
terjadi perubahan perilaku.
Apapun
jenis stresornya, tubuh akan secara otomatis akan mempersiapkan diri untuk
menghadapi pemicu rangasangan stress, pada kondisi tersebut terjadi respon
melawan atau melarikan diri ( fight or
flight). Kecemasan
adalah reaksi pertama ketka terjadi stress, yang selanjutnya diikuti oleh tahap
perlawanan dan pengerahan kimiawi dari sitem pertahanan tubuh. Perlawanan terhadap
kondisi darurat akan memicu peningkatan skresi hormone stress, sel darah merah
lebih banyak dilepaskan untuk membantu membawa oksigen, dan sel darah putih
dihasilkan lebih banyak untuk melawan infeksi, peningkatan kecepatan denyut
jatung, peningkatan tekanan darah dan peningkatan pernafasan, dan peningkatan
metabolisme untuk persiapan penggunaan energi yang cukup banyak sampai
berakhirnya ancaman yang dirasakan (Grandin, T. 1997). Seyle menanamkan proses ini dengan
sindrom adaptasi umum (General Adaptation Syndrome) yang dikendalikan
oleh hipotalamus setelah hipotalamus menerima rangsangan stressor fisik dan
psikologis.
4.4. Hubungan
Stress dengan Transportasi
Transportasi ternak merupakan kegiatan yang dilakukan
untuk memindahkan ternak dari suatu
lokasi kelokasi yang lain, kegiatan ini efektif dan sangat sering dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan permintaan ternak suatu daerah tertentu. Berbagai
stress fisik dan stres psikologis dapat terjadi selama perjalanan akibat dari
penanganan, suara, isolasi, suhu ekstrim, kekurangan pakan dan minum, getaran,
berdiri terlalu lama, kelembaban dan kepadatan tinggi selama transportasi juga
saat
bongkar muat (Kannan et al., 2000). Kepadatan
ternak yang tidak diperhatikan akan dapat menyebabkan penuruan kualitas daging
akibat memar dan gesekan selama perjalanan, karena alat angkut atau sarana
transportasi yang digunakan bukan alat angkut khusus untuk hewan (Zulkifli.et al., 2010). Handling waktu menaikkan
dan menurunkan hewan yang dilakukan dengan kasar, kurangnya pengalaman pengemudi mengatur kecepatan laju dan goncangan
alat angkut juga sangat menentukan stress pada hewan (Built et al., 2004; Grandin, 2007).
Hamito. D. (2010) menjelaskan bahwa stress transportasi
menyebabkan penurunan berat badan, hiperadrenalis, peningkatan mobilisassi
glikogen otot, serta turunnya cadangan energy otot, sehingga akan berbahaya
untuk kesehatan dan bahkan kematian. Hal itu disebabkan karena selama
perjalanan, jarak yang ditempuh yang terlalu jauh dan lama tanpa istirahat,
makan, dan minum juga pelayanan dan kontrol kesehatan hewan. Respon stres akan menjadi berbahaya apabila terjadi dalam
waktu yang cukup lama dan berkelanjutan serta mengakibatkan terganggunya
homeostasis, lebih banyak urinasi dan defekasi, ketidakseimbangan
elektrolit, dehidrasi, defisit energi meningkatnya laju respirasi, denyut
jantung (Fuch et al., 2001).
Menurut Canadian Agri-Food Reseach Council (2001)
ternak tidak dianjurkan untuk diangkut lebih dari 36 jam perjalanan tanpa
berhenti dan harus diistirahatkan untuk pemberian pakan dan minum apabila
perjalanan memerlukan waktu lebih 24 jam
perjalanan (Greenwood et al., 1993). Transportasi selama 24-48 jam akan
menyebabkan stress kronik. Dan akan mempengaruhi system imun, pencernaan,
hormonal reproduksi, hormonal pertumbuhan, energy metabolisme dan respon
terhadap infeksi ataupun penyakit (Etim et
al., 2013). Transportasi selama 48
jam akan menyebabkan perubahan pada jumlah leukosit, neutrofil, dan serum
kortisol tapi tidak terjadi pada limpfosit. Namun, pada transit yang tidak lama
akan mengurangi jumlah neutrofil dan meningkatkan konsetrasi kortisol (Becker et al., 1992).
Stress juga dapat terjadi pada saat dibawa menuju ke
tempat pemotongan (Buil et al.,
2003). Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa stres yang dialami sebelum
dan selama proses pemotongan dapat mempengaruhi kualitas daging dan produk
akhir dari daging (Chulayo et al., 2012). Peningkatan pemecahan glikogen
otot, peningkatan proses glikolisis anaerobik sampai peningkatan pembentukan
asam laktat menyebabkan turunnya
kualitas daging (Colditz et al., 2006). Peningkatan suhu otot
menyebabkan pH mengalami penurunan sehingga menyebabkan denaturasi protein
retikulum sarkoplasma dan penurunan kapasitas pengikatan air pada jaringan
sehingga daging menjadi nampak pucat, lembek, dan eksudatif (Chulayo et al.,
2012).
BAB
V
KESIMPULAN
Stress selama transportasi
akan menyebabkan peningkatan kadar kortisol, perubahan kortisol akan mempengaruhi
performa ternak kambing, nilai jual kambing yang turun akan mengurangi nilai
jualnya. Perlakuan selama transportasi, kelayakan alat angkut, penanganan medis
dan ketersedian pakan dan minum harus diperhatikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Bowman,
R.E., Beck,K.D., dan Luine, V.N., 2003. Chronic stress effect on memory: sex
differences in performance and monoaminergic activity. Hormones and
Behavior, 43:48-59.
Becker,
B. A., Y. Niwano, H. D. Johnson. 1992. Physiologic And Immune Responses
Associated With 48-Hour Fast Of Pigs. Lab. Anim. Sci. 42, 51-53.
Buil T., María G.A., Villarroel M., Liste G., López
M. 2004. Critical points In The Transport of Commercial Rabbits To Slaughter In
Spain That Could Compromise Animals’ welfare.
World
Rabbit Sci.12: 269 – 279.
Colditz, I.G., D.L. Watson, R. Kilgour, D.M.
Ferguson, C Prideaux, J. Ruby, P.D.Kirkland, and K Sullivan. 2006. Impact of
animal health and welfare research within the CRC for Cattle and Beef Quality
on Australian beef production', Australian
J. Experiment. Agricult. 46:233-244.
Chulayo, A.Y, O.Tada, and V. Muchenje. 2012.
Research on pre-slaughter stress and meat quality: A review of challenges faced
under practical conditions, Appl. Anim.
Husb. Rural Develop. 5:1-6.
Devendra, C. and G.B. McLeroy. 1982. Goat
and Sheep Production in the Tropics. Longman Group Limited, Harlow, Essex,
UK.
Etim.
NN, Mary E. W, Emem I. Evans and Edem E.
A.O. 2013 Physiological and Behavioural Responses of
Farm Animals to Stress: Implications to Animal Productivity. Department Of
Animal Science, Akwa Ibom State University,
Obio Akpa State, Nigeria.American Journal Of Advanced Agricultural
Research (ajaar). vol. 1, pp. 53-61.
Frandson, R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologi
Ternak. Edisi 4.Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Fazio, E., Medica, P., Albergina, D.,
Cavaleri, S., Cravana C., Ferlazzo, A.
2005. Cortisol Levels As Indicator Of
Stress In Domestic Goats Under Different Housing Systems
Fuch,
Flügge G, O F, Lucassen P, Vollmann-Honsdorf GK, Michaelis T 2001.Stres
psikososial, glukokortikoid, dan perubahan struktural dalam hippocampus tikus
pohon. Physiology & Behavior 73: 285-291.
Guyton,
A. C dan Hall, J. E. 2006. Textbook of Medical Physiology, 11th Edition. International Edition ISBN
0-8089-2317-X Philadelphia, Pennsylvania
Greenwood P.L. and Da Shutt. 1993.
Salivary And Plasma Cortisol As An Index Of Stress In Goats. New South Wales
Agriculture, Elizabeth Macarthur Agricultural Institute PMB 8, Camden, New
South Wales 2570. Aust Vet J69: 161 – 163
No 7.
Ganong, W.F. 2010. Review of Medical Physiology.
23th Ed. ISBN: 978-0-07-160568-7. The McGraw-Hill Companies
Grandin,
T. 1997. “Assessment of stress during handling and transport”. Journal of
Animal Science, Vol. 1. 15:249-257.
Hamito.
D. 2010. Sheep and Goat Transport.
Teknical Bulletin. No 38. Ethiopia
Sheep and Goat Productivity Improvement Program
Honkavaara
M, Rintasalo E, Ylonen J, Pudas T. 2003. Meat quality and transport stress of
cattle. Dtsch Tierarztl Wochenschr 110:125-128.
Kannan,
G., Terrill, TH, Kouakou, B. Gazal, OS, Gelaye, S., Amoah, EA dan Samake, S.,
2000. Transportation
of goats: effects on physiological stress responsses and live weight loss: Journal of Animal
Science . 78:1450-1457.
.Maejima, Y., M. AOYAMA, A. ABE, S.
Sugita (2005): Induced expression of
c-fos in the diencephalon and pituitary gland of goats following transportation1. J.
Anim. Sci. 83, 1845-1853.
Mudron P, Rehage J, Sallmann HP,
Holtershinken M, Scholz H. 2005. Stress response in dairy cows related to blood
glucose. Acta Vet Brno. 74:37-42.
Moberg,
G. P. 2000. “The Biology of Animal Stress;Basic Principle And Implications for
Animal Welfare”. CABI Publishing. CAB International, Wallingford, Oxion
OX108DE, New York
Mulyono,
S dan Sarwono, B., 2004. Penggemukan Kambing Potong. Penebar Swadaya. Jakarta
Maejima,
Y., M. Aoyama, A. Abe, S. Sugita (2005): Induced Expression Of C-fos In The Diencephalon And Pituitary Gland
Of Goats Following Transportation. J. Anim. Sci. 83, 1845-1853.
Petrauskas
L. 2005. Monitoring Stress Hormones In Rehabilitated And Captive
Otariids.[Thesis]. Fairbanks (US): University of Alaska Fairbanks.
Phillips,
C. 2002. Cattle Behaviour and Welfare. UK. Blackwell Publishing.
Sarwono,
B., 2011. Beternak Kambing Unggul.Cetakan I. Penebar Swadaya. Jakarta
Saeb, M., Baghshani, H. Nazifi, S. dan Saeb,
S. 2010. Physiological Response Of Dromedary Camels To Road Transportation In
Relation To Circulating Levels Of Cortisol, Thyroid Hormones And Some Serum Biochemical
Parameters. Trop Anim Health Prod. 42:55–63.
Schalm,
O.W., K. Jane W and Douglas. J. W. 2010. Veterinary Hematology. 6 th Ed. Stacey R. Byers and John W. Kramer (Normal
Hematology of Sheep and Goats).Chapter 108 P: 836-842. From Jain NC. Schalm’s
Veterinary Hematology, 4th ed. Philadelphia:Lea & Febiger, 1986;208 – 239.
Blackwell Publishing Ltd. State Avenue, Ames, Iowa, USA
Tarrant, P.V., F.J. Kenny, D. Harrington and
M. Murphy. 1992. Long Distance Transportation of Steers to Slaughter, Effect of
Stocking Density on Physiology, Behaviour and Carcass Quality. Livest. Prod.
Sci. 30: 223 – 238.
Zulkifli
I, Norbaiyah B, Cheah.Y.W, Soleimani A.F, Sazili A. Q, Rajion M.A and Goh Y.M
2010. Physiological responses in goats
subjected to road transportation under the hot, humid tropical conditions. Int.
J. Agric. Biol., 12: 840–844.