EKTOPARASIT DAN PENGENDALIANNYA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Parasit merupakan organisme yang hidup di
luar atau di dalam tubuh organisme lain (inang) yang mengganggu kehidupan inang
(Bowman, 2009). Penyebaran parasit dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
siklus hidup, iklim, sosial budaya/ekonomi dan kebersihan. Juga keseimbangan
aspek epidemiologi penyakit yang berkaitan satu sama lain seperti Host yang
merupakan tempat tinggalnya penyakit. Wilayah dikepulauan di Indonesia
merupakan wilayah yang beriklim tropis, sehingga menjadi salah satu faktor
pendukung dan sebagai tempat yang cocok untuk perkembangbiakan berbagai jenis
ektoparasit terutama yang menginfeksi hewan pelihara. Aspek lingkungan seperti
lingkungan fisik dan biologi dan
kepadatan populasi merupakan faktor ekstrinsik dari luar host dan agen yang
dapat menularkan penyakit. Sampai saat ini ektoparasit masih menimbulkan
masalah klasik yang belum tuntas ditangani dan belum mencapai sasaran yang
diinginkan, karena pengendalian ektoparasit bukan merupakan prioritas dalam
peternakan terutama peternakan rakyat. Padahal eksitensi ektoparasit terbukti sebagai penyebab penyakit
patologis dan zoonosis pada hewan dan manusia karena racun yang diproduksinya (Budiantoro,
2004).
1.2. Tujuan Penulisan
Penulisan
ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis ektoparasit, dampak dan
pengendaliannya
1.3. Manfaat penulisan
Penulisan
ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan tambahan informasi tentang
jenis ektoparasit, dampak dan cara pengendaliannya.
BAB
II
MATERI
METODE
Tulisan
tentang Ektoparasit dan Pengendaliannya
disusun berdasarkan studi literature, junal, artikel, dan pedoman
pengendalian berbagai sumber terkait
BAB
III
TINJAUAN
PUSTAKA
3.1. Pengertian dan Klasifikasi Ektoparasit
Ektoparasit
merupakan parasit yang menyebabkan gangguan pada ternak dan berlokasi diluar
tubuh hewan. berdasarkan taksnonominya ektoparasit termasuk
dalam filum Arthropoda yang terdiri dari beberapa subfilum yang sering kita jumpai di
Indonesia seperti Subfilum Chelicerata (Kelas Arachnida) seperti (Mites, Ticks, Spiders, Scorpions, dll)
(contoh: mites, ticks) dan sub filum Mandibulata (contoh: Insecta ( nyamuk (Culicidae), lalat
(Muscidae). Berdasarkan sifatnya, ektoparasit dikenal dengan kelompok ektoparasit obligat yaitu
ektoparasit yang hidupnya (seluruh stadiumnya) bergantung kepada inangnya
(mulai dari pradewasa sampai dewasa), dan umumnya yang menjadi inangnya adalah
manusia, hewan mamalia dan unggas. Salah satu contohnya adalah kutu penghisap
darah (Anoplura) yaitu pada bulu dan rambut mamalia. Kutu ini hidup bersama
inang, dan makan darah atau menyebabkan
gatal,
bintik merah dan luka jaringan
inangnya (manusia atau hewan). Sedangkan kelompok ektoparasit fakultatif adalah ektoparasit adalah kelompok
ektoparasit yang mengganggu inang hanya pada saat makan atau menghisap darah
ketika diperlukannya, artinya ektoparasit tersebut sebagian besar waktunya
dihabiskan diluar inangnya. Contohnya,
kutu busuk (Hemiptera: Cimicidae), Juga seperti famili
Culicidae (nyamuk), Ceratopogonidae (agas,
mrutu), ), Tabanidae (lalat pitak, lalat menjangan), yang
tinggalnya bersembunyi pada celah-celah tempat-tempat yang gelap dan aman,
mereka dating hanya pada saat menghisap darah hospesnya, setelah kenyang akan
kembali ke lokasi yang aman. Ektoparasit temporer
merupakan ektoparasit yang hidup bebas
pada sebagian masa hidupnya dan sewaktu-waktu mencari hospes untuk mencari
makanannya famili
Culicidae (nyamuk), lalat
kandang (Stomoxys calcitrans), dan lalat kerbau (Haematobia exigua) Simuliidae (lalat punuk)
(Suwandi, 2001).
3.2. Jenis-jenis
Ektoparasit pada ternak
Umumnya ektoparasit yang biasa menyerang
ternak yang menyebabkan kerugian pada ternak antara lain :
3.2.1. Lalat
Lalat
yang biasa menyerang hewan ternak ada yang bersifat tidak menggigit (suckling flies) seperti Musca spp, lalat ini dapat memindahkan
berbagai jenis agen penyakit baik kuman, virus,, nematode dan protozoa. Sedangkan lalat yang bersifat menggigit (bitting flies), cukup banyak jenisnya
seperti lalat Tabanus sp., Stomoxys sp, Hematopota sp, Pangonia sp, Glossina spp. Lalat ini merupakan
lalat penghisap darah dan bisa menjadi vektor berbagai penyakit parasiter di
Indonesia seperti trypanosomiasis (Surra),
juga blue tongue (Iskandar 2005). Lalat
lalat rumah jenis Musca domestica sering kita temukan, Family muscidae
juga mencakup jenis Stomoxys calcitrans dan Fannia canicularis yang
sering ditemukan pada hewan ternak, jenis Stomoxys calcitrans (lalat
kandang) mirip dengan lalat rumah, namun pada Stomoxys calcitrans memiliki
Proboscis yang berfungsi menghisap darah, lalat tersebut merupakan
vector penyakit surra pada hewan ternak
(Dwiyani et al., 2014).
Predileksi
lalat-lalat ini biasanya mereka meletakkan telurnya pada luka yang sudah
mengeluarkan darah seperti pada luka pada kaki, luka pada leleran vulva yang
mengandung darah. Semakin lama berada pada tempat tersebut lalat bertelur dan
menjadi puppa kemudian menjadi dewasa. Lalat penghisap seperti
musca autumnalis dapat menularkan penyakit filaria yang biasanya menyerang
kulit sekitar mata yang mirip dengan penyakit kaskado (subronto, 2003). Lalat
hijau seperti Chrysomyia megacephala biasanya ada di daerah peternakan
dan permukiman, dan jenis lalat hijau seperti Chrysomyia bezziana
biasanya pada ternak yang digembalakan di padang rumput. Lalat betina meletakkan
telurnya pada feses sapi segar, dalam sekali bertelur menghasilkan 20 telur dan
berkembangbiak dengan baik pada suhu 20-300 C (Dendo 2003).
Membutuhkan waktu 8-10
hari pada suhu 300 C pada daerah tropis untuk
menyelesaikan satu siklus hidupnya (dari telur, larva, pupa dan dewasa). Ada
beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk mengendaikan lalat seperti terus
menjaga hygiene dan sanitasi lingkungan, keber sihan kotoran ternak disekitar kandang (Depkes, 1992 ). Lalat-lalat penghisap
darah dapat dikendalikan dengan menggunakan tawon parasitik. Muscidifurax
raptor menyerang pupa lalat dan dengan menggunakan analog hormon juvenil
kimiawi yang efektif terhadap pupa lalat tetapi tidak terhadap parasit tawon
(Noble &Noble 1989; Arroyo 2011).
3.2.1. Culicoides/Agas atau
Mrutu (biting midges)
Culicoides merupakan
salah satu genus dari family Ceratopogonidae,.
Di Indonesia tercatat sebanyak 100 spesies Culicoides betina mengigit
dan menyerang hewan pada waktu senja hari dan malam hari yang tenang, tanpa
angin. Kebiasaan lalai ini berkerumun sekaligus berkembangbiak pada siang hari
pada tempat-tempat yang lembab, dekat genangan air, rawa, dan dekat kolam. Culicoides
mengalami metamorfosis sempurna, yaitu dari telur, larva, pupa dan dewasa
perkembangan larva ini berlangsung
selama 1-12 bulan, setelah itu berubah menjadi pupa. Dalam waktu 3-5 hari lalat
dewasa keluar dari pupa. Biasanyanya lalat betina yang mengisap darah
(0.139-0,410 mikroliter), sedang yang jantan menghisap cairan tumbuh-tumbuhan. Culicoides
tersebar di 19 daerah propinsi di
Indonesia. Spesies yang umum dijumpai antara lain adalah Culicoides fulvus,
C. peregrinus, C. orientalis, C. oxystoma, C. sumatrae, C. guttifer, C. huffi,
C. palpifer, dan C. parahumeralis (Hadi et al., 2000). Arti
penting dari lalat Culicoides dalam dunia kesehatan adalah sebagai
penghisap darah yang sangat mengganggu dan juga sebagai vektor penular Leucocytozoonosis pada ternak unggas. Culicoides spp terutama spesies Culicoides sonorensis, bertanggung jawab
untuk transmisi virus penyebab penyakit bluetongue (lidah biru) untuk domba dan sapi
di Bluetongue. Juga penyakit Afrika
Horsesickness virus.
Culicoides
dapat dikendalikan dengan penyemprotan pestisida seperti Bio Kill Stable Spray™, yang merupakan permethrin yang modifikasi.
Penyemprotan dilakukan terhadap semua permukaan di kandang harus dan
penyemprotan kembali 7-10 hari kemudian diperlukan.
3.2.1. Nyamuk
Nyamuk merupakan salah satu parasit yang juga
banyak memiliki arti bagi usaha peternakan, dimana nyamuk selain menggigit dia
juga menghisap darah, bekas gigitannya dapat menjadi iritasi dan bengkak,
hingga menyebabkan kerusakan jaringan pada kulit hewan akibat hewan
menggosokkan badannya pada benda keras sekitar kandang. Nyamuk termasuk ke
dalam odo Diptera, famili Culicidae, dengan 3 subfamili yaitu Toxorhynchitinae
(Toxorhynchites), Culicinae (Aedes), Culex,
Mansonia, Armigeres, dan Anophelinae (Anopheles). Nyamuk di
Indonesia terdiri atas 457 spesies, diantaranya 80 spesies Anopheles,
125 Aedes, 82 Culex, 8 Mansonia, sedangkan sisanya tidak
termasuk begitu mengganggu (O’Connor dan Sopa, 1981). Nyamuk Genus Culex, Genus
Aedes, dan Genus Anopeles, memiliki sifon, telurnya diletakkan diatas permukaan air, akan menetas dalam waktu 1-3
hari pada suhu 300C. Silkusnya
sangat singkat, Larvanya menggantung dan menggantung dan membentuk sudut 450
C diatas permukaan air. Larva segera berubah menjadi pupa, menjadi dewasa
di atas permukaan air yang tenang. Stadium ini hanya berlangsung dalam waktu
2-3 hari, di bawah suhu 100C tidak ada perkembangan. Nyamuk culex
dapat menularkan penyakit malaria unggas yang disebabkan oleh Plasmodium
gallinaceum, cacing jantung anjing (Dirofilaria immitis)/(Cacing
jantung), bovine ephemeral virus, dan
lain-lain (Levine,1994). Genus Aedes merupakan vector dari penyakit
Malaria, Ensefalitis, penyakit jantung yang disebabkan oleh Dirofillaria
immitis (Cacing jantung), dan Setaria digitata. (Levine,1994)
Genus Anopheles merupakan vector dari penyakit Bruga malayi, Ensefalitis
pada kuda, Penyakit jantung akibat Dirofilaria immitis (cacing jantung),
dan Wuchereria bancrofti (Levine,1994).
Siklus hidup bisa lengkap dalam waktu satu mingggu atau lebih tergantung
suhu, makanan, spesies dan faktor lain. Nyamuk dewasa jantan umumnya hanya
tahan hidup selama 6 sampai 7 hari, sangat singkat hidupnya dan makanannya
adalah cairan tumbuhan atau nektar, sedangkan yang betina dapat mencapai 2
minggu lebih di alam dan bisa menghisap darah berbagai jenis hewan atau
manusia. Jenis nyamuk yang dapat menularkan penyakit ke manusia yaitu nyamuk
malaria seperti Anopheles aconitus, An. sundaicus, An. maculatus, An. vagus,
An kochi, dan An. barbirostris; nyamuk demam berdarah seperti Aedes
aegypti dan Ae.albop. Pengendaliannya secara internal adalah dengan
menggunakan bat nyamuk dan lalat yang biasa juga digunakan untuk mengendalikan
caplak, tungau seperti, Bayticol,
Gusanex, Canex, dichlorvos, Choumaphos, Malathion. (Subronto, 2003).
3.2.1. Kutu (Lice/pediculosis)
Ada dua jenis kutu yang sering ditemui, namun
memiliki sifat tersendiri yaitu kutu
dalam sub ordo yaitu Anopleura
merupakan kutu penghisap darah yang bersifat lamban dan sub ordo Mallophaga,
juga kutu yang mampu menggigit namun hanya menyebabkan lesi pada permukaan
kulit. Kutu gesit pada hewan anjing dan
kucing seperti Ctenocephalus spp dan kutu
pada tikus atau rodensia liar seperti Xenopsylla
Cheoptis yang dapat menulakan penyakit
pest yang disebabkan oleh Pasteurella
pestis, menyebabkan flea dermatitis,
dan radang yang berlanjut menjadi dermatitis ulseratif dan lokasi tersebut
sekaligus tempat bertelurnya. Sedangkan kutu
pada pada manusia (Pediculus Humanis),tidak
menyebabkan kerusakan kulit, namun
dapat menyebabkan iritasi karena reaksi ketidaknyamanan (garukan) akibat gatal.
Kutu dalam subordo Mallophaga seperti
Trichodectes spp biasanya menyerang
kuda, sapi, domba, dan kambing. (Subronto, 2003).
Tahap
perkembangan kutu semua berlangsung pada induk semangnya, Jumlah telur yang
dihasilkan oleh seekor induk kutu mencapai 10–300 butir selama hidupnya. Dalam
waktu 5-18 hari telur menetas menjadi
nimfa (kutu muda). Telur kutu disebut nits (lingsa, Jawa), yang
direkatkan pada bulu (rambut) inangnya dengan semacam zat semen pada bagian
ujung dasar telur. Warna nimfa dan kutu dewasa keputih-putihan, dan makin tua
umurnya makin berwarna gelap. Kutu dewasa bisa hidup 10 hari hingga beberapa bulan.
(Subronto, 2006). Secara umum jenis-jenis kutu yang banyak menyerang hewan di
Indonesia adalah pada ayam yaitu Menopon gallinae, Menacanthus stramineus, pada burung merpati dan unggas liar
lainnya yaitu Columbicola Columba, pada anjing yaitu Heterodoxus longitarsus dan
Trichodectes canis, pada domba dan kambing seperti Damalinia ovis, D.
caprae, Linognathus ovillus, dan L. stenopsi, pada sapi dan kerbau
seperti Haematopinus eurysternus dan H. tuberculatus; dan pada
gajah seperti Haematomyzus elephanti.
Pengendalian
pada kutu adalah biasanya juga dapat
menggunakan obat yang sering digunakan untuk memberantas scabies dan
demodekosis, namun dilakiukan ulangan tiap 1 minggu. Injeksi ivermektin secara
subkutan juga dapat dilakukan sesuai
dosis, dan menggunakan topical selamektin (Subronto, 2006).
3.2.1. Pinjal
(Flea)
Pinjal digolongkan dalam ordo Siphonaptera,
dengan ciri bentuk badan yang pipih, tidak memiliki sayap, memiliki kaki yang
panjang untuk melompat, mulutnya
digunakan untuk menyobek dan menghisap (Hastutiek,2013). Pinjal dapat
menginfestasi banyak hewan seperti kuda, sapi, babi, anjing,
kucing, unggas bahkan juga manusia Gigitan pinjal
menimbulkan rasa gatal menyebabkan eritema dan keropeng, hewan gelisah hingga
hewan mengalami anemia. (Subronto,2006). Genus
Ctenocephalides terdiri
dari Ctenocephalides canis dan
Ctenocephlides felis. Genus ini dapat membawa penyakit yang
disebabkan oleh Salmonella enteridis dan Dipylidium caninum (Hastutiek,2014), merupakan inang antara cacing filarial (
Subronto, 2006). Genus Pulex
(Pulex irritans) adalah pinjal manusia, pinjal ini umum ditemukan di daerah
amerika, pinjal ini dapat menyerang hewan ternak, dn hewan kesayang seperti
anjing dan kucing, pinjal ini dapat membawa protozoa Ricketsia thyphi penyebab
tifus (Hastutiek,2014). Genus Xenopsylla
(Xenopsylla cheopis) adalah pinjal yang menyerang rodensia, pinjal ini
dapat menularkan penyakit pes yang disebabkan oleh bakteri yersinia pestis,
bekteri tersebut berkembang biak didalam lambung pinjal dan memenuhi
lambungnya, bila pinjal menggigit induk semangnya pinjal tidak dapat menghisap
darah melainkan memuntahkan bakteri kedalam luka (Levine, 1994).
Pinjal melangsungkan daur hidupnya diluar
hospes, meletakkan telurnya pada badan hospes, kemudian jatuh ketanah, katu
kandang, celah kayu atau tembok. 1-2
hari minggu telur menetas pada suhu optimum.
Larva menjadi kepompong setelah 7-10 hari, 10-17 hari kemudian kepompong
terbuka dan menjadi pinjal dewasa, dan canghkan kepompong segera diisi oleh
larva baru. Sekali bertelur pinjal dewasa sebanyak 3-15 butir bahkan sampai 500
butir, pinjal dewasa dapat hidup 1 tahun pada kondisi makanan cukup tersedia (
Subronto, 2006). Pinjal dewasa akan
menghindari cahaya, dan akan tinggal di antara rambut-rambut inang, pada
pakaian atau tempat tidur manusia. Baik pinjal betina maupun yang jantan
keduanya menghisap darah beberapa kali pada siang atau malam hari. Predileksi
pada tubuh adalah pada kulit sacral, lumbal dan ekor, akibat infestasi
pinjal akan menyebabkan eritrema, papulae,
dan keropeng yang disertai dengar rasa gatal sehingga menyebabkan hewan
menjadi anemia dan kurus.
Pengobatannya
pinjal harus dilakukan setiap minggu dengan obar dalam bentuk cair maupun
serbuk. Seperti asuntol (Coumaphos 50% WP) dalam 1 % larutan, deltametrin 50 EC dibuat larutan 12,5 ppm, Sipermetrin (High-Cis) dibuat laturan 1:1000. Amitras juga dapat mengusir pinjal. Untuk
pencegahannya sebaiknya dibersihkan kandang dan ruangan yang dicurigai lokasi pinjal dengan semprot
malathion 4% atau dichlorophenyl phospat. Pada hewannya rutin di bersihkan,
cukur bulu yang sekitar kulit yang iritasi terutama yan mengalami dermatitis, kemudian
di beri zinc lotion, dan antihistamin untuk mengurangi gatel, juga antibiotic
muntuk mencegah infeksi sekuder. ( Subronto, 2006).
3.2.1.
Caplak
Caplak
termasuk dalam ordo Acarina, dengan
genus Ixodes, Boophilus dan Rhipicephalus biasanya menyebabkan
kerugian pada ternak. Kerugian akibat ektoparasit caplak cukup tinggi pada
ternak ruminansia khususnya diIndonesia. Selain merugikan ternak secara ekonomi
juga karena dapat bersifat zoonosis khususnya pada penyakit skabies. Caplak
merupakan ekotoparasit penghisap darah yang ganas sehingga inang yang terserang menjadi anemia berat, juga
mengganggu konsentrasi ternak untuk makan, sehingga mengurangi intake nutrisi
bahkan sampai menyebabkan kekurusan pada
ternak,
tambah lagi gesekan atau garukan tubuh hewan pada benda sekitar menyebabkan
iritasi dan luka pada kulit yang dapat menyebabkan munculnya infeksi sekunder
oleh mikroba lainya. Selain akibat eksternal,
secara internal caplak jenis tertentu juga menghasilkan toksin (ixovotoxin)
yang mempengaruhi susunan syaraf pusat dan neuromuscular junction sehingga
menimbulkan kelumpuhan (tick paralysis).
Caplak
Keras termasuk Kelas Arachnida,
Famili Ixodidae. Dermacentor, Amblyoma,
Rhipicephalus, Boopphilus (
Suwandi, 2001). Caplak keras sering ditemukan pada hewan-hewan
domestik seperti sapi, kerbau, kuda, domba, kambing, anjing, kucing, dan unggas
di berbagai wilayah di Indonesia. Caplak keras seperti Ixodes biasnya menjadi
vektor bagi parasit darah seperti babesia
sp, anaplasma sp, serta dapat memindahkan kuman seperti staphylococcuc aureus. Predileksi caplak biasanya pada kulit yang
tipis seperti pada telinga, selangkangan, dan pangkal ekor, caplak yang sering menyerang terak sapi,
kambing domba, kuda biasanya caplak I. pilosus. Caplak genus Rhipicephalus spp dapat sebagai vektor penyakit babesia sp, Thielerosis, Rickettsiosis
(penyakit mubeng) (subronto,
2003). Caplak genus Boophilus biasnya menjadi vektor bagi parasit darah
seperti babesia sp, anaplasma sp,
Spirochaentosis juga sebagai vektor penyakit jembrana seperti
dibali. Caplak sapi Boophilus seperti B.microplus. merupakan caplak berumah satu dimana
semua stadiumnya (larva, nimfa dan dewasa) tinggal dalam satu inang yang sama
selama proses pergantian kulit (molting) dan perkawinan. Setelah caplak
dewasa kenyang darah barulah ia menjatuhkan diri dan bertelur di tanah. Secara
umum induk caplak meletakkan telurnya di tanah hingga 100 - 18.000
butir/caplak. Dalam satu siklus daur
hidupnya berkisar antara 6 minggu sampai tiga tahun. Larva yang baru menetas
segera akan mencari inangnya mencari benda sekitar melalui indra
olfaktoriusnya. Setelah mendapat induk semangnya, kemudian caplak dewasa dan
kawin selanjutnya menghisap darah hingga kenyang (fase Parasitik) lalu akan jatuh ke tanah atau
tetap tinggal pada tubuh inang tersebut dan segera berganti kulit (molting)
menjadi nimfa. Nimfa menghisap darah kembali, setelah kenyang akan jatuh ke
tanah dan molting menjadi caplak dewasa. (fase non parasitik) (Frazzon
et al., 2000; Onofre et al., 200l). Menurut Djaidi (1988) masalah yang
ditimbulkan caplak adalah kerugian fisik, kerugian tersebut timbul karena
caplak yang suka menghisap darah dan menyebabkan anemia, merusak kulit,
menimbulkan kegatalan dan dermatitis.
Caplak lunak terdiri dari Famili:
Argas, Orhthodoras, Otobius ( Suwandi, 2001), disebut cakpal lunak , karena tidak memiliki Skutum (perisai kitin yang bertektur
keras), kulit luarnya seringkali berkerut dan tidak betul-betul lunak seperti
yang lazim, tetapi sangat kuat. Genus Argas
persicus dan A. robertsi merupakan ektoparasit ayam, kalkun, burung
merpati, angsa, burung kenari, burung unta dan juga dapat menggigit
manusia. Misalnya argas persicus, caplak yang belum menghisap darah
kira-kira tebalnya 0.75 mm dan yang sudah menghisap darah sekitar 3 mm. caplak
tersebut terdapat dibagian-bagian dunia yang curah hujannya ringan. Seperti di
Amerika Serikat, caplak tersebut didapatkan di Negara bagian sebelah selatan
dan terutama di barat daya. Siklus hidupnya sangat khas bagi caplak argasida
pada umumnya dapat mengeluarkan dan menetaskan telurnya hingga
20-200 butir. Telur diletakan
dicelah celah dan dilekuk-lekukan kandang unggas. Telur terebut menetas dalam
waktu 2 minggu sampai 3 bulan tergantung dari suhunya. Larva
dapat hidup tanpa makan selama kira-kira tiga bulan. Nimfa dan dewasa dapat
bertahan tanpa makan selama kira-kira lima tahun.Yang dewasa makan sebulan
sekali atau lebih, dan yang betina akan bertelur setiap setelah makan. Caplak
ini sangat mengganggu inangnya sehingga ia tidak dapat tidur atau istirahat
sepanjang malam. Infestasi caplak yang tinggi dapat menimbulkan anemia, penurunan
produksi telur dan daging (Levine, 1990).
Pada
genus Otobius, Integument dewasa bergranulasi,
sedangkan nimfanya mempunyai spina. Kapitulum terletak jauh dari
ujung anterior tubuh pada yang dewasa, tetapi pada yang masih nimfa,
kapitulum terletak labih dekat dari ujung anterior. Hipostomanya mengecil
pada yang dewasa, namun berkembang baik pada nimfa. Terdapat dua jenis pada
genus ini antara lain yaitu Otobius megnini yaitu caplak telinga
berduri, larva dan nimfanya dapat ditemukan pada telinga sapi, kuda, kedelai,
biri-biri, kucing, dan anjing (Levine,1994).
3.2.1. Tungau (Mites)
Tungau termasuk
dalam family Sarcoptes dan Psoroptidae. Termasuk
dalam subordo Sarcoptiformis yang
dapat menyebabkan gangguan kulit seperti scabies. Sedngkan tungau dalam family Demodicidae dapat menyebabkan demodikosis (subronto, 2003). Jenis-jenis yang paling banyak dijumpai di
Indonesia antara lain adalah genus Sarcoptes scabiei penyebab kudis pada
hewan besar dan kecil, Genus Psoroptes ovis pada kambing dan domba, Psoroptes
bovis dan Psoroptes Natalensis pada sapi, Otodectes cynotis penyebab otitis pada
anjing, kucing, Chrioptes bovis
pada sapi, Chrioptes equi pada
kuda (soulbsy, 1977 dalam subronto, 2003). Tungau memerlukan waktu lebih kurang 17 hari
untuk menjelma menjadi tungau dewasa, penularannya melalui kontak kulit,
dalam bentuk larva, nimfa atau betina
yang siap bertelur. Diluar hospes terutama lokasi yang kering tungau
akan mati dengan sendirinya. Tungau Sarcoptes
ini biasnya masuk ke dalam kulit dengan menembus kulit, menghisap
cairan limfe hingga menyebabkan rasa
gatel pada kukit hewan, kemudian hewan akan menggosokkan badannya yang gatal pada
benda sekitar atau, hingga terluka dan menghasilakan darah atau eksudat
kemudian kering, membentuk sisik yang menyebabkan terbentuk keratinisasi dan
proliferasi jaringan ikat, kulit menebal dan berkerut, ranmbut jadi jarang pada
lokasi tersebut. Tungau Psoroptidae memiliki induk semang
yang spesifik yaitu kambing, domba yang bagian tubuhnya lebat dengan rambut dan
wolnya, juga dalam telinga terutama psoroptes ovis. Tungau demodex disebut juga
kudis folikuler, menyebabkan kudis yang sifatnya bernanah atau squamosa.
Pedileksinya pada folikel rambut dan kelenjar lemak (gld sebacea) (subronto,
2003).
Sediaan
Forfor organic (OPI) efektif mencegah dan mengobati scabies, juga jenis
akarisida lainya seperti Asuntol (Serbuk
coumafos) 5%, kerja asuntol merangsang
syaraf kholinergik menyebabkan aktifitas enzim kholine-esterase tertimbun di
ganglia dan ujung syaraf yang pada akhirnya menyebabkan parasit menjadi
lumpuh,kejang dan mati. Dosis yang dianjurkan untuk dipping 1 kg serbuk 50% dimasukkana
kedalam 1000 liter air, hingga kadar aktifnya 0,05%. Untuk kutu domba dan
kambing dosisnya dapat diturunkan separuhnya, sedangkan untuk caplak, tungau atau lalat digunakan dosisi 0,05% zat aktivnya
(subronto, 2003). Triklorfon juga dapat digunakan dalam bentuk salep 6-8% untuk mengobati tungau, ringworm, dan
kaskado diberukan bertutu-turut selama 7 hari. Avermectin diberikan secara subcutan atau intramuskuler dengam 1 ml
untuk 15-20 kg berat badan, diulang 10-14 hari setelah suntikan pertama dengan
dosis 200ppm/kg untuk sapi. Withdrawal time obat adalah 30 hari sehingga tidak boleh diberikan
28 hari sebelum melahirkan (subronto, 2003).
Amitras juga dianjurkan untuk membunuh demodeks juga
tungau sarcoptes karena amitras dapat
menghambat enzim mono amin oxidase dan sintesi prostaglandin sebagai
katalisator yang dapat meingkatkan kontraksi otot parasit, dianjurkan dosis
50-60 ppm dan diulangi tiap minggu,
sampai beberapa minggu.
BAB
IV
PEMBAHASAN
Keberadaan
ektoparasit hampir terjadi disepanjang tahun pada wilayah yang beriklim tropis.
Indonesia sebagai salah satu negara beriklim tropis memiliki permasalahan yang
besar akibat infestasi ektoparasit di peternakan ruminansia. Perubahan siklus
lingkungan mempengaruhi habitat yang ada juga dapat menimbulkan habitat yang
baru bagi kehidupan vektor. sebagai
contoh, pembukaan lahan hutan baru, atau pembuatan lahan irigasi menciptakan
ekologi baru bagi vektor (Hadi et al, 1985). Keberadaan ektoparasit tersebut
semakin merugikan apabila tidak dikendalikan dengan baik (Subronto, 2003).
Kesehatan ternak perlu dijaga terutama
pada sentra-setra produksi peternakan baik hewan besar, hewan kecil maupun
hewan pelihara kesayangan lainnya. Peran
ektoparasit yang perlu diperhatikan adalah potensinya sebagai penular dan sebagai
transfer agen penyakit. Penyakit zoonosis oleh vektor ektoparasit, melibatkan
hewan, manusia, penyakit dan vektor itu sendiri.
Ektoparasit yaitu parasit yang menyerang
inangnya namun hanya berada di permukaan kulit, seperti jenis lalat, tungau,
caplak, nyamuk (Suwandi, 2001). Ektoparasit secara langsung dapat berinfestasi
sebagai agen penyakit dapat memproduksi racun yang menyebabkan gejala tidak nyaman dan
kegelisahan yang dapat menjadi stressor, sehingga menimbulkan kerugian pada ternak akibat
menurunnya nafsu makan yang berlanjut dengan penurunan status gizi,menurunnya
performa ternak seperti penurunan bobot badan, penurunan produksi, kerontokan
rambut atau bulu, trauma, iritasi, anemia sampai dengan kematian. Kemudian
memperbesar kemungkinan muncul penyakit sekunder akibat daya tahan tubuh yang
menurun, serta (Hadi et al., 2010). Juga secara tidak langsung sebagai vektor
penyakit virus, bakteri, protozoa baik terhadap hewan maupun terhadap manusia(“zoonosis”)
(Wall and Shearer, 2001; Hendrix
dan Robinson, 2006). Dampak terhadap Manusia salah satu contohnya adalah penyakit pes yang ditularkan melalui pinjal,
dan demam akut yang di tularkan oleh caplak menyebabkan penyakit Rickettisiosis,
Aedes sp, Culex sp dan Anopheles
sp merupakan vektor beberapa penyakit seperti cikungunnya, cacar unggas dan
lain-lain (Komariah et al. 2010).
Penelitian
tentang ektoparasit sebagai agen penyakit juga sebagai vektor telah banyak dilakukan pada beberapa jenis
hewan. Pengendalian terhadap ektoparasit sangat sulit dilakukan dan memerlukan
waktu yang cukup lama. Perlu dikenal dan diidentifikasi lebih dalam untuk
mempermudah pencegahan dan pengendaliannya sehingga kerugian yang ditimbulkan
pada ternak dapat diminimalisasi.
.
4.1.
Pengendalian Ektoparasit Secara Umum
Pada Hewan Ternak
Pengendalian adalah upaya mengurangi
populasi dan penyebarannya, karena untuk pemberantasannya tidak mungkin bisa
dilakukan karena penyebaran ektoparasit sangat luas. Ada beberapa cara
pengendalian yang dapat dilakukan untuk mengurangi populasi dan perkembangan dan
serangan ektoparasit pada hewan. Pengendalian dapat dilakukan secara internal,
secara eksternal (pengelolaan lingkungan (biologis)), secara genetic/agen
biotic (dengan perlawanan alami), secara fisik/mekanik maupun kimia
(insekstisida). Pemilihan cara pengendalian hama ektoparasit yang perlu diingat
adalah bahwa tidak hanya sekedar melakukan pengendalian, menyemprot dan
menggunakan bahan kimia, akan tetapi dasar penggunaan bahan kimia dalam
pengendaliannya harus benar-benar dilakukan secara selektif dengan pertimbangan
ilimiah dan resikonya terhadap hewan dan manusia. Caranya harus mengetahui sifat dan cara
hidup/siklus hidup dari ektoparasit, mudah dilakukan (efektif dan efisien), aman
atau tidak menyebabkan kerugian pada manusia atau yang bukan target, namun
efektif untuk target (target stadium hama), bahan kimia yang digunakan tidak
menimbulkan keracunan dan resistensi atau mengganggu ekosistem, biaya murah,
mudah didapat, tidak mengganggu kelestarian dan keseimbangan alam
lingkungan yang bersangkutan, dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
4.2.
Pengendalian pada hewan/hospes (internal).
Pengendalian secara internal
dilakukan dengan membersihkan/membuat program sanitasi terhadap hewan hospes
atau hewannya dengan cara memandikan hewan atau dengan melakukan perendaman (dipping) secara rutin agar dapat
membersihkan ektoparasit dan kotoran yang
menempel pada permukaan tubuh hewan, salah satunya dengan menggunakan
insekstisida Azuntol dapat mengeliminasi caplak, pinjal. Atau dengan meneteskan
kloroform,
eter, iodium tincture atau benzene untuk melepaskan tubuh caplak
yang menempel pada kulit hewan. Kotoran pada tubuh hewan juga harus
dibersihkan, karena kotoran hewan merupakan salah satu media yang disukai oleh
beberapa jenis vektor seperti lalat atau nyamuk. Menyemprot insektisida pada
luka dengan gusanek untuk mencega lalat. Spraying individu pada hewan juga
dapat dilakukan dengan mengguakan obat dichlorvos, coumaphos 0,125 %, deltamethrin,
fenithrotion., dan amitras 0,05%
setiap 10 hari untuk mengendalikan tungau, pinjal, caplak (Hastutiek,
et al 2014). Atau
obat kimia yang dapat menyembuhkan atau mencegah parasit, jamur yang dapat
menyebabkan gatal-gatal pada kulit seperti Back Rubber, Dust bag, Pour on. Untuk
kutu dapat dikendalikan dengan menaburi atau mengolesi malathion 1 % atau
carbaryl dapat membunuh semua stadium termasuk telurnya. Untuk pinjal dapat
digunakan semprotan cairan Methoprene dapat menghambat pertumbuhan pupa dan
dewasa dari pinjal.
4.3.
Pengendalian pada lingkungan / vektor (Eksternal)
Pengendalian ini dapat dilakukan
secara fisik, kimia dan gentika terhadap ektoparasit, memutus mata rantai atau
siklus ektoparasit eksternal seperti
caplak, lalat, nyamuk, kutu dan pinjal, sehingga dapat membunuh atau menekan
perkembangan populasinya. Program manajemen kandang dan lingkungannya harus
dilakukan, membersihkan kandang secara rutin setiap hari, atau seminggu sekali
atau tergantung kebutuhan, karena kotoran disekitar kandang, sampah, dan
benda-benda busuk merupakan tempat yang disukai oleh beberapa jenis vektor
lalat, nyamuk. Setiap bahan kimia yang digunakan memiliki target tersendiri
dalam membunuh vektor target seperti dapat bersifat sebagai racun kontak, racun perut dan racun untuk
pernapasannya. Pada kandang, Caranya dengan menyiramkan air dengan tekanan
tinggi sambil disikat, kemudian dikeringkan dan dispraying dengan insektisida
tertentu yang efektif seperti virkon atau
dapat menggunkan formalin 10%, atau dengan Icon 25 EC, Muscasid 10%, Lindane
0,03-0,05 %, Malation 0,5 %, Azamethipos
dan cypermethrin atau Thiamethoxam, Juga dapat dilakukan dengan
cairan cengkeh. Untuk vektor lain seperti kutu, caplak dan tungau bisa
dikendalikan dengan golongan cabaryl, azamethiphos, cypermetrin, bediocarps. (
Hadi U. K 2011).
Pengendalian secara biologi dan genetika
dilakukan untuk menganti populasi serangga/vektor yang berbahaya dengan vektor
yang tidak merugikan. Hal ini dilakukan dengan prinsip mengubah kemampuan reproduksi
suatu vektor sehingga tidak mampu berkembang. Atau dengan sisitem kompetisi,
contoh dengan menggunakan parasit penyengat yang sudah dikembangkan sebagai
kompetitor biologis untuk Musca domestica terhadap larva dan pupanya. Pada
jenis Musca domestica dapat diserang dengan spesies pathogen, parasit
atau predator, jamur epizootic dapat digunakan, lalat yang terinfeksi dengan Entamophtora
muscae atau E. schizophorae menurun populasinya pada kandang sapi
(Hastutiek, et al 2014).
Atau dengan cara memasang jebakan, juga dapat dilakukan dengan menanam tanaman
yang dapat mengusir lalat dan nyamuk seperti pohon pandan dan bunga lavender.
Namun perlu dipertimbangkan keseimbangan ekosistem akan tetap terjaga, terlebih
lagi keberadaan lalat di kandang juga membantu dalam proses dekomposisi
(penguraian) feses atau sampah organik lainnya sehingga baik jika digunakan
sebagai pupuk kompos.
Penggunaan agen hayati juga dapat dilakukan,
alasan utama pemakaian agen hayati sebagai kontrol biologi pada ternak adalah
tidak ada efek residu pada produk ternak, ataupun resistensi ektoparasit. Metarhizium anisopliae sebagai
pengendali vektor caplak secara hayati dengan penyemprotan dosis 1 X 107 spora/ml dapat
membunuh 100% caplak betina (Ahmad R.Z, 2004).
BAB
V
KESIMPULAN
Ektoparasit merupakan parasit yang meyebabkan
kerugian ekonomi baik terhadap ternaknya
maupun dalam pengendaliannya. Pengendalian ektoparasit tidak mudah dilakukan,
harus mempertimbangkan banyak hal untuk keselamatan ternak dan manusia serta
kesimbangan ekologi. Pengendalian yang penting adalah memutus siklus
perkembangan vektor dan menghilangkan faktor pemicu perkembangan dan infestasi
ektoparasit. Menjaga kebersihan ternak dan lingkungan dan kandang salah satu
teknik pengendalian utama sebagai upaya
pencegahan sebelum dilakukan pengobatan.
.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad. R.Z. 2004, Cendawan Metarhizium Anisopliae Sebagai
Pengendali Hayati Ektoparasit Caplak Dan Tungau Pada Ternak WARTAZOA Vo1. 14 No
. 2.
Arroyo HS. 2011. Hose fly, Musca Domestica,
Linnaeus. EENY-048. Florida: University of Florida. On line at http://creatures.ifas.ufl.edu.
Bowman,
D.D (1999). Georgis’ Parasitology for Veterinery. 8th Ed.
Saunders an Imprint of Elsevier Science Alan, W (1994). Arthropods of Humans
and Domestic Animals. A Guide to Preliminary Identification. 1st Ed.
Chapman & Hall.
Budiantoro. 2004. Kerugian ekonomi akibat
skabies dan kesulitan dalam pemberantasannya . Makalah pada Seminar
Parasitology dan Toksikologi Veteriner pada tanggal 20-21 April 2004. Balitvet
DFID
Depkes RI, Dit.Jen.PPM dan PL. Petunjuk Teknis
tentang Pemberantasan Lalat. Jakarta. 1992. Peraturan Mentri Republik
Indonesia nomor 374/Mekes/PER/III/2010.Tentang Pengendalian Vektor.
http://www.depkes.go.id/downloads/Pengendalian Vektor%20.pdf. Diakses tanggal 8
Maret 2011.
Dendo FT. 2003. Lalat Penghisap Darah (Haematobia
exigua de Meijere, 1903) pada Sapi Sumba Ongole dan Musuh Alaminya. (Skripsi).
Bogor: IPB.
Djaidi, S. (1988). Caplak keras (Ixodidae)
dan peranannya dalam epidemiologi piroplasmosis pada sapi. IPB.
Dwiyani, et al., (2014). Ektoparasit Pada
Ordo Artiodactyla di Taman Marga Satwa Semarang.Universitas Negeri Semarang.
Semarang
Hadi UK &. Soviana S. 2010. EKTOPARASIT
: Pengenalan, Identifikasi dan Pengendaliannya. Bogor: Lab. Entomologi IPB.
Hadi UK , 2011. Bioekologi
Berbagai Jenis Serangga Pengganggu Pada
Hewan Ternak Di Indonesia Dan Pengendaliannya. Bagian Parasitologi
dan Entomologi Kesehatan,
Dept
Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor
Hadi. T.R. dan
Nalim, S. 1985. Survai Vector Dan Reservoir Penyakit Zoonotik Yang Ditularkan
Oleh Arthropoda Di Desa Basi, Kecamatan Dondo Kabupaten Buol - Tolitoli,
Sulawesi Tengah, Indonesia. Bul. Penelit. Kesehatan. 13 (1)
Hastutiek, P. (2013) Buku Ajar Arthropoda
Veteriner. Airlangga University Press. Surabaya.
Hastutiek, P, et al., (2014) Ilmu Penyakit
Arthropoda Veteriner. Airlangga University Press. Surabaya
Hendrix, C.M., and E Robinson. 2006.
Diagnostic Parasitology For Veterinary Technicans. 3 th Ed. Mosby Inc. an
affilaiate. Inc
Iskandar T. 2005. Gambaran Agen Parasit pada
Ternak Sapi Potong di Salah Satu Peternakan di Sukabumi. Di dalam: Lokakarya
Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Strategis pada Ternak
Ruminansia Besar [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui].
Bogor (ID): hlm 1-9; [diunduh 2014 Feb 6]. Tersedia pada:
http://bbalitvet.litbang. deptan.go.id/eng/attachments/247_76.pdf.
Komariah, Pratita S, Malaka T. 2010.
Pengendalian vektor. Jurnal kesehatan 6 (1) : 34–43
Levine ND. 1994. Textbook of Veterinary
Parasitology. Terjemahan. Edisi kedua Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Noble ER & Noble GA. 1989. Parasitologi
: Biologi Parasit Hewan. Terjemahan drh. Wardiarto. Edisi kelima.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Richard
C. Axtell, 2001, Fly Control In Confined Livestock and Poultry Production,
Novartis Animal Health Inc.
Subronto. 2003. Ilmu penyakit Ternak
(Mamamlia). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Soulsby, E. J. L. 1982. Helminths,
arthropods and protozoa of domesticated animal. 7th Ed. The English
Language Book Society, Bailliere Tindall, London: xi + 809
Subronto.,
2006. Penyakit Infeksi Parasit & Mikroba pada Anjing & Kucing. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Suparmin, Y, 2015. Deteksi
Dan Identifikasi Faktor Penyebab Timbulnya Infestasi Caplak Boophilus sp Pada
Sapi Bali Di Kecamatan Mallusetasi, Kabupaten Barru. Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Suwandi. 2001. Mengenal Berbagai Penyakit
Parasitik pada Ternak. Temu Teknis Fungsional Non Peneliti. Bogor: Balai
Penelittian Ternak.
Wall R, Shearer D. 2001. Veterinary
Ectoparasites: Biology, Pathology, & Control Second Edition. London:
Blackwell Science Ltd.