Jumat, 08 Juni 2018

EKTOPARASIT DAN PENGENDALIANNYA





EKTOPARASIT DAN PENGENDALIANNYA


BAB I
PENDAHULUAN

 1.1.         Latar Belakang
            Parasit merupakan organisme yang hidup di luar atau di dalam tubuh organisme lain (inang) yang mengganggu kehidupan inang (Bowman, 2009). Penyebaran parasit dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya siklus hidup, iklim, sosial budaya/ekonomi dan kebersihan. Juga keseimbangan aspek epidemiologi penyakit yang berkaitan satu sama lain seperti Host yang merupakan tempat tinggalnya penyakit. Wilayah dikepulauan di Indonesia merupakan wilayah yang beriklim tropis, sehingga menjadi salah satu faktor pendukung dan sebagai tempat yang cocok untuk perkembangbiakan berbagai jenis ektoparasit terutama yang menginfeksi hewan pelihara. Aspek lingkungan seperti lingkungan fisik dan biologi  dan kepadatan populasi merupakan faktor ekstrinsik dari luar host dan agen yang dapat menularkan penyakit. Sampai saat ini ektoparasit masih menimbulkan masalah klasik yang belum tuntas ditangani dan belum mencapai sasaran yang diinginkan, karena pengendalian ektoparasit bukan merupakan prioritas dalam peternakan terutama peternakan rakyat. Padahal eksitensi ektoparasit terbukti sebagai penyebab penyakit patologis dan zoonosis pada hewan dan manusia karena racun yang diproduksinya (Budiantoro, 2004).

1.2.   Tujuan Penulisan
    Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis ektoparasit, dampak dan pengendaliannya

1.3.    Manfaat penulisan
      Penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan tambahan informasi tentang jenis ektoparasit, dampak dan cara pengendaliannya.




BAB II
MATERI METODE

       Tulisan tentang Ektoparasit dan Pengendaliannya  disusun berdasarkan studi literature, junal, artikel, dan pedoman pengendalian berbagai sumber terkait





BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Pengertian dan Klasifikasi  Ektoparasit
        Ektoparasit merupakan parasit yang menyebabkan gangguan pada ternak dan berlokasi diluar tubuh hewan. berdasarkan taksnonominya ektoparasit termasuk dalam filum Arthropoda  yang terdiri dari  beberapa subfilum yang sering kita jumpai di Indonesia seperti Subfilum Chelicerata  (Kelas Arachnida) seperti (Mites, Ticks, Spiders, Scorpions, dll) (contoh: mites, ticks) dan sub filum Mandibulata (contoh: Insecta ( nyamuk (Culicidae), lalat (Muscidae). Berdasarkan sifatnya, ektoparasit dikenal dengan kelompok ektoparasit obligat yaitu ektoparasit yang hidupnya (seluruh stadiumnya) bergantung kepada inangnya (mulai dari pradewasa sampai dewasa), dan umumnya yang menjadi inangnya adalah manusia, hewan mamalia dan unggas. Salah satu contohnya adalah kutu penghisap darah (Anoplura) yaitu pada bulu dan rambut mamalia. Kutu ini hidup bersama inang, dan makan darah atau menyebabkan   gatal, bintik merah dan luka jaringan inangnya (manusia atau hewan). Sedangkan kelompok ektoparasit fakultatif adalah ektoparasit adalah kelompok ektoparasit yang mengganggu inang hanya pada saat makan atau menghisap darah ketika diperlukannya, artinya ektoparasit tersebut sebagian besar waktunya dihabiskan  diluar inangnya. Contohnya, kutu busuk (Hemiptera: Cimicidae), Juga seperti famili  Culicidae (nyamuk), Ceratopogonidae (agas, mrutu), ), Tabanidae (lalat pitak, lalat menjangan), yang tinggalnya bersembunyi pada celah-celah tempat-tempat yang gelap dan aman, mereka dating hanya pada saat menghisap darah hospesnya, setelah kenyang akan kembali ke lokasi yang aman.  Ektoparasit temporer merupakan  ektoparasit yang hidup bebas pada sebagian masa hidupnya dan sewaktu-waktu mencari hospes untuk mencari makanannya famili  Culicidae (nyamuk),  lalat kandang (Stomoxys calcitrans), dan lalat kerbau (Haematobia exigua) Simuliidae (lalat punuk) (Suwandi, 2001).
3.2. Jenis-jenis Ektoparasit pada ternak

Umumnya ektoparasit yang biasa menyerang ternak yang menyebabkan kerugian pada ternak antara lain :

3.2.1.   Lalat
      Lalat yang biasa menyerang hewan ternak ada yang bersifat tidak menggigit (suckling flies) seperti Musca spp, lalat ini dapat memindahkan berbagai jenis agen penyakit baik kuman, virus,, nematode dan protozoa.  Sedangkan lalat yang bersifat menggigit (bitting flies), cukup banyak jenisnya seperti lalat Tabanus sp., Stomoxys sp, Hematopota sp, Pangonia sp, Glossina spp. Lalat ini merupakan lalat penghisap darah dan bisa menjadi vektor berbagai penyakit parasiter di Indonesia seperti trypanosomiasis (Surra), juga blue tongue (Iskandar 2005). Lalat lalat rumah jenis Musca domestica sering kita temukan, Family muscidae juga mencakup jenis Stomoxys calcitrans dan Fannia canicularis yang sering ditemukan pada hewan ternak, jenis Stomoxys calcitrans (lalat kandang) mirip dengan lalat rumah, namun pada Stomoxys calcitrans memiliki Proboscis yang berfungsi menghisap darah, lalat tersebut merupakan vector penyakit surra pada hewan ternak  (Dwiyani et al., 2014). 
      Predileksi lalat-lalat ini biasanya mereka meletakkan telurnya pada luka yang sudah mengeluarkan darah seperti pada luka pada kaki, luka pada leleran vulva yang mengandung darah. Semakin lama berada pada tempat tersebut lalat bertelur dan menjadi puppa kemudian menjadi dewasa. Lalat penghisap  seperti musca autumnalis dapat menularkan penyakit filaria yang biasanya menyerang kulit sekitar mata yang mirip dengan penyakit kaskado (subronto, 2003). Lalat hijau seperti Chrysomyia megacephala biasanya ada di daerah peternakan dan permukiman, dan jenis lalat hijau seperti Chrysomyia bezziana biasanya pada ternak yang digembalakan di padang rumput. Lalat betina meletakkan telurnya pada feses sapi segar, dalam sekali bertelur menghasilkan 20 telur dan berkembangbiak dengan baik pada suhu 20-300 C (Dendo 2003). Membutuhkan waktu 8-10 hari pada suhu 300 C pada daerah tropis untuk menyelesaikan  satu siklus hidupnya (dari telur, larva, pupa dan dewasa).  Ada beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk mengendaikan lalat seperti terus menjaga hygiene dan sanitasi lingkungan, keber sihan kotoran  ternak disekitar kandang (Depkes, 1992 ). Lalat-lalat penghisap darah dapat dikendalikan dengan menggunakan tawon parasitik. Muscidifurax raptor menyerang pupa lalat dan dengan menggunakan analog hormon juvenil kimiawi yang efektif terhadap pupa lalat tetapi tidak terhadap parasit tawon (Noble &Noble 1989; Arroyo 2011). 






3.2.1.   Culicoides/Agas atau Mrutu (biting midges)  

Culicoides merupakan salah satu genus dari family Ceratopogonidae,. Di Indonesia tercatat sebanyak 100 spesies Culicoides betina mengigit dan menyerang hewan pada waktu senja hari dan malam hari yang tenang, tanpa angin. Kebiasaan lalai ini berkerumun sekaligus berkembangbiak pada siang hari pada tempat-tempat yang lembab, dekat genangan air, rawa, dan dekat kolam. Culicoides mengalami metamorfosis sempurna, yaitu dari telur, larva, pupa dan dewasa perkembangan  larva ini berlangsung selama 1-12 bulan, setelah itu berubah menjadi pupa. Dalam waktu 3-5 hari lalat dewasa keluar dari pupa. Biasanyanya lalat betina yang mengisap darah (0.139-0,410 mikroliter), sedang yang jantan menghisap cairan tumbuh-tumbuhan. Culicoides  tersebar di 19 daerah propinsi di Indonesia. Spesies yang umum dijumpai antara lain adalah Culicoides fulvus, C. peregrinus, C. orientalis, C. oxystoma, C. sumatrae, C. guttifer, C. huffi, C. palpifer, dan C. parahumeralis (Hadi et al., 2000). Arti penting dari lalat Culicoides dalam dunia kesehatan adalah sebagai penghisap darah yang sangat mengganggu dan juga sebagai vektor penular Leucocytozoonosis pada ternak unggas. Culicoides spp terutama spesies Culicoides sonorensis, bertanggung jawab untuk transmisi virus penyebab penyakit bluetongue (lidah biru) untuk domba dan sapi di Bluetongue. Juga penyakit Afrika Horsesickness virus.
Culicoides dapat dikendalikan dengan penyemprotan pestisida seperti Bio Kill Stable Spray™, yang merupakan permethrin yang modifikasi. Penyemprotan dilakukan terhadap semua permukaan di kandang harus dan penyemprotan kembali 7-10 hari kemudian diperlukan.



3.2.1.   Nyamuk  

        Nyamuk merupakan salah satu parasit yang juga banyak memiliki arti bagi usaha peternakan, dimana nyamuk selain menggigit dia juga menghisap darah, bekas gigitannya dapat menjadi iritasi dan bengkak, hingga menyebabkan kerusakan jaringan pada kulit hewan akibat hewan menggosokkan badannya pada benda keras sekitar kandang. Nyamuk termasuk ke dalam odo Diptera, famili Culicidae, dengan 3 subfamili yaitu Toxorhynchitinae (Toxorhynchites), Culicinae (Aedes), Culex, Mansonia, Armigeres, dan Anophelinae (Anopheles). Nyamuk di Indonesia terdiri atas 457 spesies, diantaranya 80 spesies Anopheles, 125 Aedes, 82 Culex, 8 Mansonia, sedangkan sisanya tidak termasuk begitu mengganggu (O’Connor dan Sopa, 1981). Nyamuk Genus Culex, Genus Aedes, dan Genus Anopeles, memiliki sifon, telurnya diletakkan diatas  permukaan air, akan menetas dalam waktu 1-3 hari pada suhu 300C.  Silkusnya sangat singkat, Larvanya menggantung dan menggantung dan membentuk sudut 450 C diatas permukaan air. Larva segera berubah menjadi pupa, menjadi dewasa di atas permukaan air yang tenang. Stadium ini hanya berlangsung dalam waktu 2-3 hari, di bawah suhu 100C tidak ada perkembangan. Nyamuk culex dapat menularkan penyakit malaria unggas yang disebabkan oleh Plasmodium gallinaceum, cacing jantung anjing (Dirofilaria immitis)/(Cacing jantung),  bovine ephemeral virus, dan lain-lain (Levine,1994). Genus Aedes merupakan vector dari penyakit Malaria, Ensefalitis, penyakit jantung yang disebabkan oleh Dirofillaria immitis (Cacing jantung), dan Setaria digitata. (Levine,1994) Genus Anopheles merupakan vector dari penyakit Bruga malayi, Ensefalitis pada kuda, Penyakit jantung akibat Dirofilaria immitis (cacing jantung), dan Wuchereria bancrofti (Levine,1994).  Siklus hidup bisa lengkap dalam waktu satu mingggu atau lebih tergantung suhu, makanan, spesies dan faktor lain. Nyamuk dewasa jantan umumnya hanya tahan hidup selama 6 sampai 7 hari, sangat singkat hidupnya dan makanannya adalah cairan tumbuhan atau nektar, sedangkan yang betina dapat mencapai 2 minggu lebih di alam dan bisa menghisap darah berbagai jenis hewan atau manusia. Jenis nyamuk yang dapat menularkan penyakit ke manusia yaitu nyamuk malaria seperti Anopheles aconitus, An. sundaicus, An. maculatus, An. vagus, An kochi, dan An. barbirostris; nyamuk demam berdarah seperti Aedes aegypti dan Ae.albop. Pengendaliannya secara internal adalah dengan menggunakan bat nyamuk dan lalat yang biasa juga digunakan untuk mengendalikan caplak, tungau  seperti, Bayticol, Gusanex, Canex, dichlorvos, Choumaphos, Malathion. (Subronto, 2003).



3.2.1.   Kutu (Lice/pediculosis)

         Ada dua jenis kutu yang sering ditemui, namun memiliki sifat tersendiri yaitu  kutu dalam sub ordo yaitu Anopleura merupakan kutu penghisap darah yang bersifat lamban dan sub ordo Mallophaga, juga kutu yang mampu menggigit namun hanya menyebabkan lesi pada permukaan kulit. Kutu gesit pada hewan  anjing dan kucing seperti  Ctenocephalus spp dan kutu  pada tikus  atau rodensia liar  seperti Xenopsylla Cheoptis yang dapat menulakan penyakit pest yang disebabkan oleh Pasteurella pestis, menyebabkan flea dermatitis, dan radang yang berlanjut menjadi dermatitis ulseratif dan lokasi tersebut sekaligus tempat bertelurnya.  Sedangkan kutu pada pada manusia (Pediculus Humanis),tidak menyebabkan kerusakan kulit, namun dapat menyebabkan iritasi karena reaksi ketidaknyamanan  (garukan) akibat gatal. Kutu dalam subordo Mallophaga seperti Trichodectes spp biasanya menyerang kuda, sapi, domba, dan kambing. (Subronto, 2003).
       Tahap perkembangan kutu semua berlangsung pada induk semangnya, Jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor induk kutu mencapai 10–300 butir selama hidupnya. Dalam waktu 5-18 hari  telur menetas menjadi nimfa (kutu muda). Telur kutu disebut nits (lingsa, Jawa), yang direkatkan pada bulu (rambut) inangnya dengan semacam zat semen pada bagian ujung dasar telur. Warna nimfa dan kutu dewasa keputih-putihan, dan makin tua umurnya makin berwarna gelap. Kutu dewasa bisa hidup 10 hari hingga beberapa bulan. (Subronto, 2006). Secara umum jenis-jenis kutu yang banyak menyerang hewan di Indonesia adalah pada ayam yaitu Menopon gallinae, Menacanthus stramineus,  pada burung merpati dan unggas liar lainnya yaitu Columbicola Columba, pada anjing yaitu Heterodoxus longitarsus dan Trichodectes canis, pada domba dan kambing seperti Damalinia ovis, D. caprae, Linognathus ovillus, dan L. stenopsi, pada sapi dan kerbau seperti Haematopinus eurysternus dan H. tuberculatus; dan pada gajah seperti Haematomyzus elephanti.
       Pengendalian pada kutu adalah  biasanya juga dapat menggunakan obat yang sering digunakan untuk memberantas scabies dan demodekosis, namun dilakiukan ulangan tiap 1 minggu. Injeksi ivermektin secara subkutan  juga dapat dilakukan sesuai dosis, dan menggunakan topical selamektin (Subronto, 2006).





3.2.1.   Pinjal (Flea)
       Pinjal digolongkan dalam ordo Siphonaptera, dengan ciri bentuk badan yang pipih, tidak memiliki sayap, memiliki kaki yang panjang  untuk melompat, mulutnya digunakan untuk menyobek dan menghisap (Hastutiek,2013). Pinjal dapat menginfestasi  banyak hewan  seperti kuda, sapi, babi, anjing, kucing,  unggas  bahkan juga manusia Gigitan pinjal menimbulkan rasa gatal menyebabkan eritema dan keropeng, hewan gelisah hingga hewan mengalami anemia. (Subronto,2006). Genus Ctenocephalides terdiri dari  Ctenocephalides canis dan Ctenocephlides felis. Genus ini dapat membawa penyakit yang disebabkan oleh Salmonella enteridis dan Dipylidium caninum (Hastutiek,2014),  merupakan inang antara cacing filarial ( Subronto, 2006). Genus Pulex (Pulex irritans) adalah pinjal manusia, pinjal ini umum ditemukan di daerah amerika, pinjal ini dapat menyerang hewan ternak, dn hewan kesayang seperti anjing dan kucing, pinjal ini dapat membawa protozoa Ricketsia thyphi penyebab tifus (Hastutiek,2014). Genus Xenopsylla (Xenopsylla cheopis) adalah pinjal yang menyerang rodensia, pinjal ini dapat menularkan penyakit pes yang disebabkan oleh bakteri yersinia pestis, bekteri tersebut berkembang biak didalam lambung pinjal dan memenuhi lambungnya, bila pinjal menggigit induk semangnya pinjal tidak dapat menghisap darah melainkan memuntahkan bakteri kedalam luka (Levine, 1994).
       Pinjal melangsungkan daur hidupnya diluar hospes, meletakkan telurnya pada badan hospes, kemudian jatuh ketanah, katu kandang, celah kayu atau tembok.  1-2 hari minggu telur menetas pada suhu optimum.  Larva menjadi kepompong setelah 7-10 hari, 10-17 hari kemudian kepompong terbuka dan menjadi pinjal dewasa, dan canghkan kepompong segera diisi oleh larva baru. Sekali bertelur pinjal dewasa sebanyak 3-15 butir bahkan sampai 500 butir, pinjal dewasa dapat hidup 1 tahun pada kondisi makanan cukup tersedia ( Subronto, 2006).  Pinjal dewasa akan menghindari cahaya, dan akan tinggal di antara rambut-rambut inang, pada pakaian atau tempat tidur manusia. Baik pinjal betina maupun yang jantan keduanya menghisap darah beberapa kali pada siang atau malam hari. Predileksi pada tubuh  adalah pada kulit  sacral, lumbal dan ekor, akibat infestasi pinjal akan menyebabkan eritrema, papulae,  dan keropeng yang disertai dengar rasa gatal sehingga menyebabkan hewan menjadi anemia dan kurus.
              Pengobatannya pinjal harus dilakukan setiap minggu dengan obar dalam bentuk cair maupun serbuk. Seperti asuntol  (Coumaphos 50% WP) dalam 1 % larutan, deltametrin 50 EC  dibuat larutan 12,5 ppm, Sipermetrin (High-Cis) dibuat laturan 1:1000. Amitras  juga dapat mengusir pinjal. Untuk pencegahannya sebaiknya dibersihkan kandang dan ruangan  yang dicurigai lokasi pinjal dengan semprot malathion 4% atau dichlorophenyl phospat. Pada hewannya rutin di bersihkan, cukur bulu yang sekitar kulit yang iritasi terutama yan mengalami dermatitis, kemudian di beri zinc lotion, dan antihistamin untuk mengurangi gatel, juga antibiotic muntuk mencegah infeksi sekuder. ( Subronto, 2006).  

3.2.1.   Caplak 
      Caplak termasuk dalam ordo Acarina, dengan genus Ixodes, Boophilus dan Rhipicephalus biasanya menyebabkan kerugian pada ternak. Kerugian akibat ektoparasit caplak cukup tinggi pada ternak ruminansia khususnya diIndonesia. Selain merugikan ternak secara ekonomi juga karena dapat bersifat zoonosis khususnya pada penyakit skabies. Caplak merupakan ekotoparasit penghisap darah yang ganas sehingga inang yang terserang menjadi anemia berat, juga mengganggu konsentrasi ternak untuk makan, sehingga mengurangi intake nutrisi bahkan  sampai menyebabkan kekurusan pada ternak, tambah lagi gesekan atau garukan tubuh hewan pada benda sekitar menyebabkan iritasi dan luka pada kulit yang dapat menyebabkan munculnya infeksi sekunder oleh mikroba lainya.  Selain akibat eksternal, secara internal caplak  jenis tertentu juga menghasilkan toksin (ixovotoxin) yang mempengaruhi susunan syaraf pusat dan neuromuscular junction sehingga menimbulkan kelumpuhan (tick paralysis).
      Caplak Keras termasuk Kelas Arachnida, Famili Ixodidae. Dermacentor, Amblyoma, Rhipicephalus, Boopphilus ( Suwandi, 2001). Caplak keras sering ditemukan pada hewan-hewan domestik seperti sapi, kerbau, kuda, domba, kambing, anjing, kucing, dan unggas di berbagai wilayah di Indonesia. Caplak keras seperti Ixodes biasnya menjadi vektor bagi parasit darah seperti babesia sp, anaplasma sp, serta dapat memindahkan kuman seperti staphylococcuc aureus.  Predileksi caplak biasanya pada kulit yang tipis seperti pada telinga, selangkangan, dan pangkal ekor,  caplak yang sering menyerang terak sapi, kambing domba, kuda biasanya caplak  I. pilosus. Caplak genus Rhipicephalus spp dapat sebagai vektor penyakit babesia sp, Thielerosis, Rickettsiosis (penyakit mubeng) (subronto, 2003). Caplak genus Boophilus  biasnya menjadi vektor bagi parasit darah seperti babesia sp, anaplasma sp, Spirochaentosis   juga sebagai vektor penyakit jembrana seperti dibali. Caplak sapi Boophilus  seperti B.microplus. merupakan caplak berumah satu dimana semua stadiumnya (larva, nimfa dan dewasa) tinggal dalam satu inang yang sama selama proses pergantian kulit (molting) dan perkawinan. Setelah caplak dewasa kenyang darah barulah ia menjatuhkan diri dan bertelur di tanah. Secara umum induk caplak meletakkan telurnya di tanah hingga 100 - 18.000 butir/caplak.  Dalam satu siklus daur hidupnya berkisar antara 6 minggu sampai tiga tahun. Larva yang baru menetas segera akan mencari inangnya mencari benda sekitar melalui indra olfaktoriusnya. Setelah mendapat induk semangnya, kemudian caplak dewasa dan kawin selanjutnya menghisap darah hingga kenyang  (fase Parasitik) lalu akan jatuh ke tanah atau tetap tinggal pada tubuh inang tersebut dan segera berganti kulit (molting) menjadi nimfa. Nimfa menghisap darah kembali, setelah kenyang akan jatuh ke tanah dan molting menjadi caplak dewasa. (fase non parasitik) (Frazzon et al., 2000; Onofre et al., 200l). Menurut Djaidi (1988) masalah yang ditimbulkan caplak adalah kerugian fisik, kerugian tersebut timbul karena caplak yang suka menghisap darah dan menyebabkan anemia, merusak kulit, menimbulkan kegatalan dan dermatitis.
        Caplak lunak terdiri dari Famili: Argas, Orhthodoras, Otobius ( Suwandi, 2001), disebut cakpal lunak , karena tidak memiliki Skutum (perisai kitin yang bertektur keras), kulit luarnya seringkali berkerut dan tidak betul-betul lunak seperti yang lazim, tetapi sangat kuat.  Genus Argas persicus dan A. robertsi  merupakan ektoparasit ayam, kalkun, burung merpati, angsa, burung kenari, burung unta dan juga dapat menggigit manusia.  Misalnya argas persicus, caplak yang belum menghisap darah kira-kira tebalnya 0.75 mm dan yang sudah menghisap darah sekitar 3 mm. caplak tersebut terdapat dibagian-bagian dunia yang curah hujannya ringan. Seperti di Amerika Serikat, caplak tersebut didapatkan di Negara bagian sebelah selatan dan terutama di barat daya. Siklus hidupnya sangat khas bagi caplak argasida pada umumnya dapat mengeluarkan dan menetaskan telurnya hingga 20-200 butir. Telur diletakan dicelah celah dan dilekuk-lekukan kandang unggas. Telur terebut menetas dalam waktu 2 minggu sampai 3 bulan tergantung dari suhunya. Larva dapat hidup tanpa makan selama kira-kira tiga bulan. Nimfa dan dewasa dapat bertahan tanpa makan selama kira-kira lima tahun.Yang dewasa makan sebulan sekali atau lebih, dan yang betina akan bertelur setiap setelah makan. Caplak ini sangat mengganggu inangnya sehingga ia tidak dapat tidur atau istirahat sepanjang malam. Infestasi caplak yang tinggi dapat menimbulkan anemia, penurunan produksi telur dan daging (Levine, 1990).
      Pada genus Otobius, Integument dewasa bergranulasi, sedangkan nimfanya mempunyai spina. Kapitulum terletak jauh dari ujung anterior tubuh pada yang dewasa, tetapi pada yang masih nimfa, kapitulum terletak labih dekat dari ujung anterior. Hipostomanya mengecil pada yang dewasa, namun berkembang baik pada nimfa. Terdapat dua jenis pada genus ini antara lain yaitu Otobius megnini yaitu caplak telinga berduri, larva dan nimfanya dapat ditemukan pada telinga sapi, kuda, kedelai, biri-biri, kucing, dan anjing (Levine,1994).


3.2.1.   Tungau (Mites)

         Tungau termasuk dalam family Sarcoptes dan Psoroptidae. Termasuk dalam subordo Sarcoptiformis yang dapat menyebabkan gangguan kulit seperti scabies. Sedngkan tungau dalam family Demodicidae dapat menyebabkan  demodikosis (subronto, 2003).  Jenis-jenis yang paling banyak dijumpai di Indonesia antara lain adalah genus Sarcoptes scabiei penyebab kudis pada hewan besar dan kecil, Genus Psoroptes ovis pada kambing dan domba,  Psoroptes  bovis  dan Psoroptes  Natalensis pada sapi, Otodectes cynotis penyebab otitis pada anjing, kucing, Chrioptes  bovis  pada sapi, Chrioptes equi pada kuda (soulbsy, 1977 dalam subronto, 2003).  Tungau memerlukan waktu lebih kurang 17 hari untuk menjelma menjadi tungau dewasa, penularannya melalui kontak kulit, dalam  bentuk larva, nimfa atau betina yang siap bertelur. Diluar hospes terutama lokasi  yang kering tungau akan mati  dengan sendirinya. Tungau Sarcoptes ini biasnya masuk ke dalam kulit dengan menembus kulit, menghisap cairan limfe  hingga menyebabkan rasa gatel pada kukit hewan, kemudian hewan akan menggosokkan badannya yang gatal pada benda sekitar atau, hingga terluka dan menghasilakan darah atau eksudat kemudian kering, membentuk sisik yang menyebabkan terbentuk keratinisasi dan proliferasi jaringan ikat, kulit menebal dan berkerut, ranmbut jadi jarang pada lokasi tersebut. Tungau Psoroptidae memiliki induk semang yang spesifik yaitu kambing, domba yang bagian tubuhnya lebat dengan rambut dan wolnya, juga dalam telinga terutama psoroptes ovis. Tungau demodex disebut juga kudis folikuler, menyebabkan kudis yang sifatnya bernanah atau squamosa. Pedileksinya pada folikel rambut dan kelenjar lemak (gld sebacea) (subronto, 2003). 
       Sediaan Forfor organic (OPI) efektif mencegah dan mengobati scabies, juga jenis akarisida lainya seperti Asuntol (Serbuk coumafos) 5%,  kerja asuntol merangsang syaraf kholinergik menyebabkan aktifitas enzim kholine-esterase tertimbun di ganglia dan ujung syaraf yang pada akhirnya menyebabkan parasit menjadi lumpuh,kejang dan mati. Dosis yang dianjurkan  untuk dipping 1 kg serbuk 50% dimasukkana kedalam 1000 liter air, hingga kadar aktifnya 0,05%. Untuk kutu domba dan kambing dosisnya dapat diturunkan separuhnya, sedangkan untuk  caplak, tungau atau lalat  digunakan dosisi 0,05% zat aktivnya (subronto, 2003).  Triklorfon juga dapat digunakan dalam bentuk salep  6-8% untuk mengobati tungau, ringworm, dan kaskado diberukan bertutu-turut selama 7 hari. Avermectin diberikan secara subcutan atau intramuskuler dengam 1 ml untuk 15-20 kg berat badan, diulang 10-14 hari setelah suntikan pertama dengan dosis 200ppm/kg untuk sapi. Withdrawal time obat  adalah 30 hari sehingga tidak boleh diberikan 28 hari sebelum melahirkan (subronto, 2003).  Amitras  juga dianjurkan untuk membunuh demodeks juga tungau sarcoptes  karena amitras dapat menghambat enzim mono amin oxidase dan sintesi prostaglandin sebagai katalisator yang dapat meingkatkan kontraksi otot parasit, dianjurkan dosis 50-60 ppm  dan diulangi tiap minggu, sampai beberapa minggu.  



BAB IV
PEMBAHASAN
        Keberadaan ektoparasit hampir terjadi disepanjang tahun pada wilayah yang beriklim tropis. Indonesia sebagai salah satu negara beriklim tropis memiliki permasalahan yang besar akibat infestasi ektoparasit di peternakan ruminansia. Perubahan siklus lingkungan mempengaruhi habitat yang ada juga dapat menimbulkan habitat yang baru bagi kehidupan vektor.  sebagai contoh, pembukaan lahan hutan baru, atau pembuatan lahan irigasi menciptakan ekologi baru bagi vektor (Hadi et al, 1985). Keberadaan ektoparasit tersebut semakin merugikan apabila tidak dikendalikan dengan baik (Subronto, 2003). Kesehatan ternak perlu dijaga  terutama pada sentra-setra produksi peternakan baik hewan besar, hewan kecil maupun hewan pelihara  kesayangan lainnya. Peran ektoparasit yang perlu diperhatikan adalah potensinya sebagai penular dan sebagai transfer agen penyakit. Penyakit zoonosis oleh vektor ektoparasit, melibatkan hewan, manusia, penyakit dan vektor itu sendiri.
       Ektoparasit yaitu parasit yang menyerang inangnya namun hanya berada di permukaan kulit, seperti jenis lalat, tungau, caplak, nyamuk (Suwandi, 2001). Ektoparasit secara langsung dapat berinfestasi sebagai agen penyakit dapat memproduksi racun yang  menyebabkan gejala tidak nyaman dan kegelisahan yang dapat menjadi stressor, sehingga menimbulkan kerugian pada ternak akibat menurunnya nafsu makan yang berlanjut dengan penurunan status gizi,menurunnya performa ternak seperti penurunan bobot badan, penurunan produksi, kerontokan rambut atau bulu, trauma, iritasi, anemia sampai dengan kematian. Kemudian memperbesar kemungkinan muncul penyakit sekunder akibat daya tahan tubuh yang menurun, serta (Hadi et al., 2010).  Juga secara tidak langsung sebagai vektor penyakit virus, bakteri, protozoa baik terhadap hewan maupun terhadap manusia(“zoonosis”) (Wall and Shearer, 2001; Hendrix dan Robinson, 2006)Dampak terhadap Manusia  salah satu contohnya adalah  penyakit pes yang ditularkan melalui pinjal, dan demam akut yang di tularkan oleh caplak menyebabkan penyakit Rickettisiosis,  Aedes sp, Culex sp dan Anopheles sp merupakan vektor beberapa penyakit seperti cikungunnya, cacar unggas dan lain-lain (Komariah et al. 2010).   
Penelitian tentang ektoparasit sebagai agen penyakit juga sebagai vektor  telah banyak dilakukan pada beberapa jenis hewan. Pengendalian terhadap ektoparasit sangat sulit dilakukan dan memerlukan waktu yang cukup lama. Perlu dikenal dan diidentifikasi lebih dalam untuk mempermudah pencegahan dan pengendaliannya sehingga kerugian yang ditimbulkan pada ternak dapat diminimalisasi.
.
4.1. Pengendalian Ektoparasit  Secara Umum Pada Hewan Ternak
      Pengendalian adalah upaya mengurangi populasi dan penyebarannya, karena untuk pemberantasannya tidak mungkin bisa dilakukan karena penyebaran ektoparasit sangat luas. Ada beberapa cara pengendalian yang dapat dilakukan untuk mengurangi populasi dan perkembangan dan serangan ektoparasit pada hewan. Pengendalian dapat dilakukan secara internal, secara eksternal (pengelolaan lingkungan (biologis)), secara genetic/agen biotic (dengan perlawanan alami), secara fisik/mekanik maupun kimia (insekstisida). Pemilihan cara pengendalian hama ektoparasit yang perlu diingat adalah bahwa tidak hanya sekedar melakukan pengendalian, menyemprot dan menggunakan bahan kimia, akan tetapi dasar penggunaan bahan kimia dalam pengendaliannya harus benar-benar dilakukan secara selektif dengan pertimbangan ilimiah dan resikonya terhadap hewan dan manusia.  Caranya harus mengetahui sifat dan cara hidup/siklus hidup dari ektoparasit,  mudah dilakukan (efektif dan efisien), aman atau tidak menyebabkan kerugian pada manusia atau yang bukan target, namun efektif untuk target (target stadium hama), bahan kimia yang digunakan tidak menimbulkan keracunan dan resistensi atau mengganggu ekosistem, biaya murah, mudah didapat, tidak mengganggu kelestarian dan keseimbangan alam lingkungan yang bersangkutan, dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

4.2. Pengendalian pada hewan/hospes (internal).
      Pengendalian secara internal dilakukan dengan membersihkan/membuat program sanitasi terhadap hewan hospes atau hewannya dengan cara memandikan hewan atau dengan melakukan perendaman (dipping) secara rutin agar dapat membersihkan ektoparasit dan  kotoran yang menempel pada permukaan tubuh hewan, salah satunya dengan menggunakan insekstisida Azuntol dapat mengeliminasi caplak, pinjal. Atau dengan meneteskan kloroform, eter, iodium tincture atau benzene untuk melepaskan tubuh caplak yang menempel pada kulit hewan.  Kotoran pada tubuh hewan juga harus dibersihkan, karena kotoran hewan merupakan salah satu media yang disukai oleh beberapa jenis vektor seperti lalat atau nyamuk. Menyemprot insektisida pada luka dengan gusanek untuk mencega lalat. Spraying individu pada hewan juga dapat dilakukan dengan mengguakan obat dichlorvos, coumaphos 0,125 %, deltamethrin, fenithrotion., dan amitras 0,05%  setiap 10 hari  untuk mengendalikan tungau, pinjal, caplak (Hastutiek, et al 2014). Atau obat kimia yang dapat menyembuhkan atau mencegah parasit, jamur yang dapat menyebabkan gatal-gatal pada kulit seperti Back Rubber, Dust bag, Pour on. Untuk kutu dapat dikendalikan dengan menaburi atau mengolesi malathion 1 % atau carbaryl dapat membunuh semua stadium  termasuk telurnya. Untuk pinjal dapat digunakan semprotan cairan Methoprene dapat menghambat pertumbuhan pupa dan dewasa dari pinjal.

4.3. Pengendalian pada lingkungan / vektor (Eksternal)
       Pengendalian ini dapat dilakukan secara fisik, kimia dan gentika terhadap ektoparasit, memutus mata rantai atau siklus ektoparasit  eksternal seperti caplak, lalat, nyamuk, kutu dan pinjal, sehingga dapat membunuh atau menekan perkembangan populasinya. Program manajemen kandang dan lingkungannya harus dilakukan, membersihkan kandang secara rutin setiap hari, atau seminggu sekali atau tergantung kebutuhan, karena kotoran disekitar kandang, sampah, dan benda-benda busuk merupakan tempat yang disukai oleh beberapa jenis vektor lalat, nyamuk. Setiap bahan kimia yang digunakan memiliki target tersendiri dalam membunuh vektor target seperti dapat bersifat sebagai  racun kontak, racun perut dan racun untuk pernapasannya. Pada kandang, Caranya dengan menyiramkan air dengan tekanan tinggi sambil disikat, kemudian dikeringkan dan dispraying dengan insektisida tertentu  yang efektif seperti virkon atau dapat menggunkan formalin 10%, atau dengan Icon 25 EC, Muscasid 10%, Lindane 0,03-0,05 %, Malation 0,5 %, Azamethipos dan cypermethrin  atau  Thiamethoxam, Juga dapat dilakukan dengan cairan cengkeh. Untuk vektor lain seperti kutu, caplak dan tungau bisa dikendalikan dengan golongan cabaryl, azamethiphos, cypermetrin, bediocarps. ( Hadi U. K 2011).
     Pengendalian secara biologi dan genetika dilakukan untuk menganti populasi serangga/vektor yang berbahaya dengan vektor yang tidak merugikan. Hal ini dilakukan dengan prinsip mengubah kemampuan reproduksi suatu vektor sehingga tidak mampu berkembang. Atau dengan sisitem kompetisi, contoh dengan menggunakan parasit penyengat yang sudah dikembangkan sebagai kompetitor biologis untuk Musca domestica terhadap larva dan pupanya. Pada jenis Musca domestica dapat diserang dengan spesies pathogen, parasit atau predator, jamur epizootic dapat digunakan, lalat yang terinfeksi dengan Entamophtora muscae atau E. schizophorae menurun populasinya pada kandang sapi (Hastutiek, et al 2014). Atau dengan cara memasang jebakan, juga dapat dilakukan dengan menanam tanaman yang dapat mengusir lalat dan nyamuk seperti pohon pandan dan bunga lavender. Namun perlu dipertimbangkan keseimbangan ekosistem akan tetap terjaga, terlebih lagi keberadaan lalat di kandang juga membantu dalam proses dekomposisi (penguraian) feses atau sampah organik lainnya sehingga baik jika digunakan sebagai pupuk kompos.
Penggunaan agen hayati juga dapat dilakukan, alasan utama pemakaian agen hayati sebagai kontrol biologi pada ternak adalah tidak ada efek residu pada produk ternak, ataupun resistensi ektoparasit. Metarhizium anisopliae sebagai pengendali vektor caplak secara hayati dengan penyemprotan  dosis 1 X 107 spora/ml dapat membunuh 100% caplak betina (Ahmad R.Z, 2004).








BAB V
KESIMPULAN

Ektoparasit merupakan parasit yang meyebabkan kerugian ekonomi baik terhadap  ternaknya maupun dalam pengendaliannya. Pengendalian ektoparasit tidak mudah dilakukan, harus mempertimbangkan banyak hal untuk keselamatan ternak dan manusia serta kesimbangan ekologi. Pengendalian yang penting adalah memutus siklus perkembangan vektor dan menghilangkan faktor pemicu perkembangan dan infestasi ektoparasit. Menjaga kebersihan ternak dan lingkungan dan kandang salah satu teknik pengendalian  utama sebagai upaya pencegahan  sebelum dilakukan pengobatan.
.


DAFTAR PUSTAKA


Ahmad. R.Z. 2004, Cendawan Metarhizium Anisopliae Sebagai Pengendali Hayati Ektoparasit Caplak Dan Tungau Pada Ternak WARTAZOA Vo1. 14 No . 2.

Arroyo HS. 2011. Hose fly, Musca Domestica, Linnaeus. EENY-048. Florida: University of Florida. On line at http://creatures.ifas.ufl.edu.
Bowman, D.D (1999). Georgis’ Parasitology for Veterinery. 8th Ed. Saunders an Imprint of Elsevier Science Alan, W (1994). Arthropods of Humans and Domestic Animals. A Guide to Preliminary Identification. 1st Ed. Chapman & Hall.
Budiantoro. 2004. Kerugian ekonomi akibat skabies dan kesulitan dalam pemberantasannya . Makalah pada Seminar Parasitology dan Toksikologi Veteriner pada tanggal 20-21 April 2004. Balitvet DFID
Depkes RI, Dit.Jen.PPM dan PL. Petunjuk Teknis tentang Pemberantasan Lalat. Jakarta. 1992. Peraturan Mentri Republik Indonesia nomor 374/Mekes/PER/III/2010.Tentang Pengendalian Vektor. http://www.depkes.go.id/downloads/Pengendalian Vektor%20.pdf. Diakses tanggal 8 Maret 2011.
Dendo FT. 2003. Lalat Penghisap Darah (Haematobia exigua de Meijere, 1903) pada Sapi Sumba Ongole dan Musuh Alaminya. (Skripsi). Bogor: IPB.
Djaidi, S. (1988). Caplak keras (Ixodidae) dan peranannya dalam epidemiologi piroplasmosis pada sapi. IPB.
Dwiyani, et al., (2014). Ektoparasit Pada Ordo Artiodactyla di Taman Marga Satwa Semarang.Universitas Negeri Semarang. Semarang
Hadi UK &. Soviana S. 2010. EKTOPARASIT : Pengenalan, Identifikasi dan Pengendaliannya. Bogor: Lab. Entomologi IPB.
Hadi UK , 2011. Bioekologi Berbagai Jenis Serangga Pengganggu  Pada Hewan Ternak Di Indonesia Dan Pengendaliannya. Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Dept Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor
Hadi. T.R. dan Nalim, S. 1985. Survai Vector Dan Reservoir Penyakit Zoonotik Yang Ditularkan Oleh Arthropoda Di Desa Basi, Kecamatan Dondo Kabupaten Buol -   Tolitoli, Sulawesi Tengah, Indonesia. Bul. Penelit. Kesehatan. 13 (1)
Hastutiek, P. (2013) Buku Ajar Arthropoda Veteriner. Airlangga University Press. Surabaya.
Hastutiek, P, et al., (2014) Ilmu Penyakit Arthropoda Veteriner. Airlangga University Press. Surabaya
Hendrix, C.M., and E Robinson. 2006. Diagnostic Parasitology For Veterinary Technicans. 3 th Ed. Mosby Inc. an affilaiate. Inc
Iskandar T. 2005. Gambaran Agen Parasit pada Ternak Sapi Potong di Salah Satu Peternakan di Sukabumi. Di dalam: Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Strategis pada Ternak Ruminansia Besar [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Bogor (ID): hlm 1-9; [diunduh 2014 Feb 6]. Tersedia pada: http://bbalitvet.litbang. deptan.go.id/eng/attachments/247_76.pdf.
Komariah, Pratita S, Malaka T. 2010. Pengendalian vektor. Jurnal kesehatan 6 (1) : 34–43
Levine ND. 1994. Textbook of Veterinary Parasitology. Terjemahan. Edisi kedua Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Noble ER & Noble GA. 1989. Parasitologi : Biologi Parasit Hewan. Terjemahan drh. Wardiarto. Edisi kelima. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Richard C. Axtell, 2001, Fly Control In Confined Livestock and Poultry Production, Novartis Animal Health Inc.
Subronto. 2003. Ilmu penyakit Ternak (Mamamlia). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Soulsby, E. J. L. 1982. Helminths, arthropods and protozoa of domesticated animal. 7th Ed. The English Language Book Society, Bailliere Tindall, London: xi + 809
Subronto., 2006. Penyakit Infeksi Parasit & Mikroba pada Anjing & Kucing. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 
Suparmin, Y, 2015.   Deteksi Dan Identifikasi Faktor Penyebab Timbulnya Infestasi Caplak Boophilus sp Pada Sapi Bali Di Kecamatan Mallusetasi, Kabupaten Barru. Fakultas Kedokteran  Universitas Hasanuddin,  Makassar.
Suwandi. 2001. Mengenal Berbagai Penyakit Parasitik pada Ternak. Temu Teknis Fungsional Non Peneliti. Bogor: Balai Penelittian Ternak.
Wall R, Shearer D. 2001. Veterinary Ectoparasites: Biology, Pathology, & Control Second Edition. London: Blackwell Science Ltd.

  



















































































































































PETANI MUDA ASET EKONOMI PERTANIAN INDONESIA MASA DEPAN

          PETANI MUDA ASET EKONOMI PERTANIAN INDONESIA MASA DEPAN           Bersyukur Kepada Allah SWT, telah diberi kesempatan hidup sebaga...